Barong
Brutuk
Di desa Trunyan, Kabupaten Bangli
terdapat sebuah pura bernama Pura Pancering Jagat. Di pura itu terdapat sebuah
patung besar tanpa busana setinggi kurang lebih 4 meter yang bernama Bhatara
Datonta atau Bhatara Ratu Pancering Jagat. Patung yang diduga peninggalan
kebudayaan batu besar, diukir sederhana, namun ekspresinya sangat dashyat,
tangan kirinya bergantung longgar pada sisi kiri tubuhnya; tangan kanannya
tertekuk di atas bahu mengarah ke belakang, posisi membawa kapak; alat vitalnya
mencolok ke bawah, tetapi lembut.
Tepat di bawah alat vital itu ada sebuah lubang yang menggambarkan alat kelamin wanita. Keduanya dianggap simbol vital kekuatan laki dan perempuan. Simbol ini diduga bentuk awal dari lingga dan yoni, kekuatan Dewa Siwa dan Dewi Uma dalam tradisi Hindu. Bhatara Ratu Pancering Jagat memiliki sebanyak 21 orang unen-unen dalam bentuk topeng yang dinamakan Barong Brutuk. Dilihat dari segi ikonografinya wajah barong barong itu menyerupai wajah topeng-topeng primitif, matanya besar dengan warna putih atau coklat, diduga peninggalan kebudayaan pra-Hindu Bali. Wujud topeng-barong itu hampir sama dengan topeng-topeng kuna yang terdapat di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Bahkan serupa dengan topeng-topeng primitif di benua Afrika.
Tepat di bawah alat vital itu ada sebuah lubang yang menggambarkan alat kelamin wanita. Keduanya dianggap simbol vital kekuatan laki dan perempuan. Simbol ini diduga bentuk awal dari lingga dan yoni, kekuatan Dewa Siwa dan Dewi Uma dalam tradisi Hindu. Bhatara Ratu Pancering Jagat memiliki sebanyak 21 orang unen-unen dalam bentuk topeng yang dinamakan Barong Brutuk. Dilihat dari segi ikonografinya wajah barong barong itu menyerupai wajah topeng-topeng primitif, matanya besar dengan warna putih atau coklat, diduga peninggalan kebudayaan pra-Hindu Bali. Wujud topeng-barong itu hampir sama dengan topeng-topeng kuna yang terdapat di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Bahkan serupa dengan topeng-topeng primitif di benua Afrika.
Pergelaran panjang Barong Brutuk yang menampilkan tarian,
nyanyian, drama dan permainan rakyat yang menyatu dengan prosesi ritual yang
dikemas dengan indah tetapi aneh. Menjadikan pergelaran ini unik dan memikat.
Ada legenda di Desa Trunyan
mengenai pendirian desa yang dapat diceritakan kembali. Pada suatu hari,
sekelompok yang terdiri dari 16 orang pemuda melakukan migrasi ke barat dari
daerah tradisional Bali Aga di wilayah timur. Yang sekarang disebut Kabupaten
Karangasem. Setelah melakukan perjalanan berbahaya mereka berhenti disebuah
lereng gunung dekat danau Batur. Mereka kemudian mendirikan rumah dan
mempersiapkan pertanian. Dalam
aktifitasnya mereka sering kali menghadapi ancaman dan mengalami kegagalan
panen. Orang-orang Bali Aga ini mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan
desa tetangga. Karena mereka memiliki keyakinan dan kepercayaan yang berbeda.
Akhirnya dengan perjuangan yang bera, mereka berhasil mendirikan Desa Trunyan.
Legenda ini terekspresikan dalam
perayaan atau pementasan Barong Brutuk dalam sejumlah acara. Sebagai upacara
ritual kehidupan, peristiwa Barong Brutuk memiliki kemiriban dengan perayaan
dari kebudayaan lain. Periode pengasingan diri, pencarian berkah di alam yang
buas (mencari daun pisang pilihan), perwalian dalam tradisi suku, doa-doa,
semua memiliki kemiriban. Berperan dalam Barong Brutuk sama halnya berperan
dalam 2 bagian perayaan atau drama saat
yang sama. Satu bagian memainkan kembali legenda, dan yang lainnya ikut
merasakan cobaan para plopor yang kemudian menerima semacam baptis melalui
penyucia air danau. Lapis-lapis yang biasa di ungkap adalah bagaimana Sang Raja
dan Ratu memainkan tarian Kekeran dan Kiuh slah satu tiruan gerakan-gerakan
tari yang bersumber pada flora dan fauna yang menjadi inspirasi penciptaan
tarian masa kini. Kekeran dan Kiuh juga menggambarkan dua kelompok masyarakat
yang berbeda yaitu pria dan wanita yang satu sama lain tak dapat terpisahkan
dalam kebudayaan manusia.
Barong Brutuk itu ditarikan oleh
para penari pria yang diambil dari anggota seka taruna yang ada di desa
Trunyan. Sebelum menarikan barong-barong sakral itu para taruna harus melewati
proses sakralisasi selama 42 hari. Mereka tinggal di sekitar Bhatara Datonta
dan setiap hari bertugas membersihkan halaman pura dan mempelajari nyanyian
kuna yang disebut Kidung. Selama proses sakralisasi, para taruna itu dilarang
berhubungan dengan para wanita di kampungnya. Kegiatan lain yang dilakukan
semasa menjalani proses penyucian, yaitu mengumpulkan daun-daun pisang dari
desa Pinggan yang digunakan sebagai busana tarian Brutuk. Daun-daun pisang itu
dikeringkan dan kemudian dirajut dengan tali kupas (pohon pisang) dijadikan
semacam rok yang akan digunakan oleh para penari Brutuk. Masing-masing penari
menggunakan dua atau tiga rangkaian busana dari daun pisang itu, sebagian
digantungkan di pinggang dan sebagian lagi pada bahu, di bawah leher.
Penari-penari Brutuk menggunakan cawet yang juga dibuat dari tali pohon pisang.
Barong Brutuk dipentaskan pada
siang hari tepat ketika mulai Hari Raya Odalan di Pura Ratu Pancering Jagat.
Biasanya upacara Brutuk berlangsung selama 3 hari berturut-turut dimulai pada
pukul 12.00 siang dan berakhir sekitar pukul 17.00 sore. Para penari Brutuk
yang menggunakan busana daun pisang kering itu, dan hiasan kepala dari janur;
seorang berfungsi sebagai Raja Brutuk, seorang berfungsi sebagai Sang Ratu,
seorang berfungsi sebagai Patih, seorang berfungsi sebagai kakak Sang Ratu, dan
selebihnya menjadi anggota biasa. Tarian Brutuk itu menggambarkan konsep
dikotomi dalam kehidupan masyarakat Trunyan, yaitu dua golongan masyarakat,
laki-laki dan perempuan.
Upacara Brutuk dimulai dengan
penampilan para unen-unen tingkat anggota. Mereka mengelilingi tembok pura
masing-masing tiga kali sambil melambaikan cemeti kepada penonton, peserta
upacara. Cemetinya membuat bunyi melengking dan membangkitkan rasa takut
penonton. Mereka takut disambar dan kena cemeti Sang Brutuk. Ketika Sang Raja,
Ratu dan Patih, dan kakak Sang Ratu tampil dalam pementasan, seorang pemangku
berpakaian putih mendekati keempat penari itu dan langsung menyajikan sesajen,
seperangkat sesaji penyambutan dan diiringi doa-doa keselamatan bagi masyarakat
Trunyan. Keempat ningrat Brutuk itu juga mengelilingi pura sebanyak tiga kali,
melambaikan cemeti mereka dan kemudian bergabung dengan para Brutuk yang lain.
Penonton, peserta upacara mulai mendekati para penari Brutuk itu, mengambil
daun-daun pisang yang lepas, digunakan sebagai sarana kesuburan. Para menonton
yang berhasil memperoleh daun-daun pisang busana Brutuk itu, akan menyimpannya
di rumah dan kemudian baru disebar di area persawahan ketika mulai menanam
padi. Mereka mengharapkan keberhasilan panen. Disitu drama mencapai klimaksnya,
ayunan cemeti diperkeras, memecuti para penonton yang “mencuri” bagian dari
busananya.
Ketika sore hari tiba, tahap
upacara ritual itu dihentikan sementara, dan para penari dipersilahkan
istirahat agar tidak kehabisan tenaga, kemudian topeng meraka diangkat ke atas,
seperti helm seorang kesatria kerajaan, dan para penari merebahkan dirinya di
bawah naungan atap pura, sementara beberapa orang anggota desa yang lebih tua
mengipasi tubuh mereka. Masa jeda ini hanya intermeso sejenak, dan kemudian
tahapan kedua dari upacara ritual itu dilanjutkan. Para Brutuk kembali ke
tertorial mereka, tetapi sekarang mereka bertugas melindungi Bale Agung yang
berada di dekat mereka, tempat sekuler yang juga dikelilingi tembok. Tempat itu
merupakan tempat eksistensi pemerintahan dan sosial desa. Kegembiraan memuncak
setelah para penari dan penonton memainkan permainan seremonial kuno, sebuah
permainan yang menyerupai permainan sekelompok anak-anak di dunia Barat. Banyak
penonton mencoba merampas sobekan kostum Brutuk dan sebaliknya para penari
berhak melecutkan cemeti kepada siapa saja yang masuk ke daerah mereka, kecuali
para wanita yang berbusana khusus yang masuk saat tertentu dalam festival itu
dan bertugas menghaturkan sesajen kepada Ratu Pancering Jagat.
Kemudian pada sore hari, petugas
wanita mempersembahkan beberapa sesajen bagi para Brutuk itu sendiri, merayakan
kenyataan bahwa mereka telah dirasuki Dewa. Sesaji itu terdiri dari
buah-buahan, bunga-bunga, dan kue-kue manis yang kemudian diambil oleh para
penari itu, namun tidak dimakan. Para penonton bergerak mendekati mereka,
berebut menukar sesajen itu dengan rokok dan para penari Brutuk yang sudah
jinak itu membiarkan penonton mendekat. Kemudian mereka menukarkan buah-buahan
dan kue-kue dengan rokok. Beberapa orang penonton lainnya mencoba menggunakan
kesempatan itu untuk menyobek daun pisang keberuntungan yang menjadi pakaian
penari, dan lari dari pura dengan kepuasannya.
Masih pada petang hari itu, tahapan
terakhir pertunjukan ritual itu dimulai. Dipimpin pemangku, para wanita membawa
sesajen baru buat Raja dan Ratu Brutuk. Ketika sesajen sudah dipersembahkan,
sang Raja dan Ratu menari bersama, sementara para Brutuk yang lain dan penonton
hanya menyaksikannya. Sang Patih dan saudara laki-laki Ratu melanjutkan aksi
lecutannya secara liar, mencoba melecuti penonton dan mencegah mereka
menyaksikan tarian percintaan sang Raja dan Ratu.
Sepasang Raja dan Ratu, sekarang
menarikan gerakan kuno, yang meniru tingkah laku ayam hutan liar. Sang Raja
sebagai keker (ayam jantan) dan sang Ratu menari sebagai kiuh (ayam betina).
Unggas itu banyak terdapat di daerah sekitar Trunyan. Mereka menyembulkan
kepala, menukik, mematuk-matuk dan menggerakkan pinggul, mencakar tanah dan
membuat gerakan saling menyerang secara tiba-tiba sambil mengepakkan sayapnya.
Gerak-gerakan seperti ayam bertarung atau sedang mengawan. Tarian terus
berlangsung dan kegembiraan para penonton semakin memuncak. Pada saat sendya
kala, para penari berjalan ke bawah mendekati danau Batur. Brutuk laki-laki
dengan topeng merahnya, mengambil posisi dengan berbaris di belakang Raja,
sementara penari bertopeng wanita berbaris berlawanan dengan mereka, berada di
belakang Ratu.
Tarian percintaan Raja dan Ratu pun
diteruskan selama sekitar setengah jam, sementara Brutuk pria dan wanita tetap
berbaris digarisnya. Hanya Sang Patih dan saudara laki-laki Sang Ratu yang
tetap aktif, mereka terus menerus melecutkan cemeti ke arah penonton, tetapi
mereka hampir tak mampu menahan desakan penonton. Kegembiraan pun semakin
meluap. Akhirnya, dengan gerakan yang mulai tak gesit, sang Ratu terbang dan
melintas garis yang ditandai dengan panji-panji. Seluruh Brutuk kemudian
bersorak ketika sang Raja terbang mencoba menerkam sang Ratu. Sang Raja
langsung menangkapnya dan merangkul sang Ratu. Pada saat itu para pemuda yang
menjadi Brutuk, bersorak secara serempak, sambil berlari ke dalam air dan
menceburkan diri. Di situ mereka melucuti sisa-sisa daun pisang yang menjadi
pakaiannya, berenang dan bersenang-senang melepaskan lelah. Kostum mereka
dibiarkan terapung, sedangkan topeng-topeng mereka diambil oleh anggota suku
yang lebih tua yang turun ke tepi danau untuk memberi bantuan.
Tetapi, saat matahari tenggelam
pada hari festival, topeng-topeng itu disimpan. Setelah itu penari dan penonton
berpisah untuk acara makan malam setelah semua aktivitas perayaan usai.
Penggunaan istilah upacara
keagamaan “seremoni” , dan pertunjukan untuk menggmbarkan pementasan Barong
Brutuk dan aktifitas yang dihubungkan dengan Trunyan adalah sangat tepat.
Tradisi Barong Brutuk memiliki semua unsur diatas bahkan lebih. Odalan Ratu
Pancering Jagat adalah sebuah festival, pelayanan religius, sebagai bentuk
sesaji dan doa, serangkaian pertunjukan dramatik dan sakral. Setiap anggota
masyarakat di Trunyan berperan serta dalam pristiwa itu, menggambarkan bertapa
kuatnya rasa komunitas yang dimiliki orang-orang Desa Trunyan saat ini. Dari
sebuah pertunjukan Barong Brutuk kita melihat toleransi, keseriusan,
partisipasi, kejujuran, saling peduli, dan menghormati satu sama lain.
0 komentar:
Posting Komentar