Pages

Minggu, 26 Januari 2014

YOGA

I.  PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang.
            Istilah yoga dalam bahasa Sansekerta berasal dari akar kata “ yuj”  yang berarti pasangan. Ini dimaksudkan pasangan jiwa pribadi (jivatman) dengan jiwa universal (paramatman). Wujud pelaksanaan yoga dirumuskan sebagai suatu sistem untuk membudidayakan hidup ini untuk perilaku manusia yang lebih tepat. Dengan tujuan antara lain untuk melengkapi kekurangan dan memelihara kesehatan  baik dalam badan jasmani dan rohani serta untuk pengembangan intelektual diri. Yoga pada dasarnya adalah sebuah Cara atau Jalan Hidup. Bukan sesuatu yang keluar dari kehidupan, bukan pula menjauhkan diri dari aktifitas, melainkan merupakan performa yang ifisient dengan semangat hidup yang benar. Yoga bukan pula melarikan diri dari rumah dan kebiasaan hidup manusia, melainkan merupakan suatu proses pembentukan sikap untuk hidup di rumah (keluarga) maupun hidup bermasyarakat dengan suatu pengertian baru, Yoga bukan memalingkan dari kehidupan, Dia merupakan spiritual dari hidup.

1.         Samadhipada : Isinya menguraikan tentang sifat, bentuk dan tujuan yoga. Selain itu juga diuraikan tentang pikiran bila seseorang melakukan yoga           serta cara-cara melakukan yoga.
2.         Shadanapada : menguraikan tentang kriya yoga (pelaksanaan yoga) untuk mencapai Samadhi, klesa (sumber penderitaan), karmapala (hasil            perbuatan) serta cara menghapus penderitaan tersebut.
3.         Vibhutipada : menjelaskan aspek dalam suksma serta kekuatan gaib yang    diperoleh dengan jalan yoga.
4.         Kaivalyapada : menjelaskan sifat serta bentuk kelepasan dan           transedentalnya jiwa serta terpisahnya alam dunia ini.
            Lebih lanjut tentang filsafat yoga dikenal dalam filsafat patanjali yang diambil dari nama pendirinya yaitu Maha Rsi Patanjali. Sumber ajaranya tercantum dalam Patanjala-sutra yang disebut juga Kitab Yoga-sutra. Sifat ajaran dari yoga ini adalah dualistik dan pluralistik. Sesungguhnya aliran Yoga sangat erat hubungannya dengan aliran samkhya dalam pembahasan mengenai asal-usul filsafat itu sendiri dengna menggunakan pengertian dan kesadaran melalui penglihatan, kesimpulan, ucapan serta kesaksian amanat kitab-kitab suci. Yang menjadi acuan dalam pelaksanaan praktis aliran Yoga ini adalah konsentrasi pikiran (ekagra) yang terpusatkan pada Samprajnata Yoga – yaitu pemusatan pikiran dalam tapabrata, samadi khusuk, meditasi dimana objek jiwa menjadi terang dan terpisah dari benda-benda duniawi, badan jasmani, pikiran dan ego. Oleh aliran Yoga hal ini di bagi menjadi empat tingkat:
1)         Savitaraka : Pikiran terkonsertasikan pada benda cukup besar dan nyata,                 seperti sebuah patung pemujaan
2)         Savicara : Pikiran terpusatkan pada objek yang halus disebut tanmatra,                   seperti warna, bunyi, suara, bau, rasa sentuhan pada angina atau udara.
3)         Sananda : Pikiran terpusatkan pada unsur - unsur yang lebih halus lagi,                   seperti pancaindra penglihatan, pendengaran, penciuman, pencicipan,                penyentuhan yang terletak di mata, kuping, hidung, lidah dan kulit.
            Filsafat yoga adalah sumbangsih yang tak ternilai mutunya dari pilosopi Patanjali ini bagi mereka yang merindukan adanya jiwa sebagai suatu identitas substansi yang mandiri, terbebas dari batas-batas kehadiran badan jasmani, panca indra dan pikiran. Dalam pelaksanaan yoga tidak semua orang bisa melakukannya dengan benar ada beberapa klesa yang masih membelenggu pikiran mereka antara lain :
1)         Avidya yaitu ketidaktahuan (pengetahuan yang salah) tentang jiwa dan       yang bukan jiwa (akibat dari rasa senang atau tidak senang, suci atau tidak       suci, cinta atau benci dan sebagainya)
2)         Asmita yaitu egoisme, dimana jiwa dikira pikiran atau intelek atau panca     indra.
3)         Raga yaitu keinginan atau kesenangan dan kenikmatan, kebahagiaan dan    kemewahan dengan alat pancaindra untuk mencapainya.
4)         Dvesa yaitu penolakan, antipati, arogansi, sikap menentang dan       sebagainya.
5)         Abhinivesa yaitu rasa takut akan kematian secara naluri di luar kesadaran.
Selain klesa-klesa di atas ada juga beberapa penghambat dalam terhentinya proses modifikasi jiwa dimana watak dan pikiran yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat Triguna (Sattva, rajas, tamas) seperti :
1)         Mudha yaitu pikiran yang dibelenggu oleh sifat dan watak lesu, beku,         dungu, negatif dan jahat.
2)         Kshipta yaitu pikiran yang diseret oleh sifat dan watak cerdas dikuasai       oleh objek benda-benda indah, bermutu dan mahal.
3)         Vikshipta yaitu pikiran yang dikuasai oleh sifat dan watak gelisah, resah      seakan-akan berhadapan dengan musuh yang mengancam.
Sekarang marilah kita bahas bagian keempat dari Catur Marga Yoga yaitu Raja Marga Yoga. (Judul asli “RAJA YOGA”; diinterpretasikan dari edisi website The Divine Life Society yang telah diupdate pada hari Minggu 14 Juli 1996).

II.  PEMBAHASAN
2.         Pengertian Raja Yoga.
            Raja Yoga Adalah Jalan yang membawa kepenyatuan dengan Tuhan, melalui pengekangan diri dan pengendalian pikiran. Raja Yoga mengajarkan bagaimana mengendalikan pikiran atau indriya-indriya dan wrtti mental atau gejolak pikiran yang muncul dari pikiran, bagaimana mengembangkan kosentrasi dan bagaimana bergaul dengan Tuhan. Dalam Hatha Yoga terdapat disiplin fisik, sedangkan dalam Raja Yoga terdapat disiplin pikiran. Yang menjadi tujuan utama daripada raja yoga ini adalah dengan mendiamkan diri sepenuhnya dan menuju kepada kesadran pribadi. (Penjelasan dari Intisari Ajaran Hindu)
            Yoga ini menggunakan sarana pengendalian diri dan konsentrasi yang selanjutnya menuju pada penguasaan pikiran untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Tokoh yang paling populer yang mengajarkan secara gamblang tentang ajaran Raja Yoga ini adalah, Maharsi Patanjali dengan ajaran Yoga Sutra. Patanjali mendefiniskan Yoga sebagai “Chitta-Writti-Nirodha”. Yoga artinya “persatuan dengan yang suci” atau “moksha”. Chitta artinya “pikiran.” Writti artinya  penyederhanaan ” atau “getaran”. Nirodha artinya “penghentian”, “penekanan”, atau “penahanan”. Jadi menurut Rsi Patanjali, persatuan dengan yang suci atau moksha berarti penghentian dari getaran-getaran, atau penyederhanaan pikiran.
            Praktek Raja Yoga mulai sejak zaman Weda. Bhagawad Gita mengagungkannya dan memujinya mulai dengan pernyataan , “Raja Yoga, Raja Guhyan (rahasia yang dijaga bagaikan raja), Pawitram (yang amat disucikan), Uttamam (yang paling baik), Pratyakshawagaman (yang cepat memberi hasil), Dharmyam Kartum (setia kepada Dharma)”. Diperkirakan hidup dari tahun 240 sampai 180 S.M. Ada perdebatan antara para sarjana mengenai apakah ia Patanjali yang sama dengan ahli bahasa yang menyusun komentar Mahabsya yang besar terhadap komentar kritis (Warttika) dari Katayana atas Tatabahasa Sansekerta dari Panini, atau tidak. Beberapa orang mengatakan dia tidak lain adalah reinkarnasi dari raja naga Anathan
            Dalam Raja Yoga, seorang bhakta mencoba untuk mencapai satu keadaan di atas pikiran dan dalam satu cara mencoba untuk mencapai keadaaan tanpa pikiran. Sangat sulit untuk menjelaskan hal ini dalam kalimat sederhana. Seorang mahasiswa parapsikologi mungkin mampu memahami aspek ilmiah dari Raja Yoga lebih baik dari siapapun juga. Orang biasa yang keadarannya terbatas pada pikiran yang lebih rendah dapat membayangkan hanya citra-citra nyata dari obyek-obyek, yang berasal dari organ indriya.
            Secara singkat, bagi seorang Raja Yogi yang sempurna, berpikir adalah sebuah proses sukarela sepanjang waktu, tidak seperti kebanyakan dari kita yang memikirkan begitu banyak hal secara tidak sukarela. Kita berpikir tentang baik buruk pro kontra dari setiap masalah, bahkan bila kita tidak ingin memikirkan mengenai masalah itu sama sekali. Sebagai contoh, bila kita memutuskan untuk tidak memikirkan monyet-monyet untuk sejam yang akan datang, kita malah memikirkan monyet-monyet itu untuk sejam kemudian. Ini cara kerja pikiran kita sepanjang waktu.(Yoga Sutra Patanjali)



2.1       Evolusi Kosmis dan Tujuan.
            Walaupun dipisahkan oleh kelahiran (jati), tempat (desa), maupun waktu (kala), yang berkaitan dengan ingatan (smrti), kesan-kesan (samskara) serta kebiasaan-kebiasaan tetap berlangsung, karena yang merangsangnya tetap ada, namun itu tidak menjadi penyebab lagi (anadhitvam). Hadirnya sebab, motif, struktur, dan tujuannya tetap mempersatukan mereka (smrti, samskara serta kebiasaan-kebiasaan); hanya dengan tidak hadirnya semua (sebab, motif, struktur, dan tujuan) itulah mereka tidak hadir pula. Masa lampau dan masa depan (atita anagata) eksis secara bergantian betapa adanya, mengikuti prinsip-prinsip kosmis yang mengaturnya (dharmanah). Baik berwujud kasar maupun halus, mereka hanyalah guna yang menyertai Atman (guna atmanah). Sedangkan evolusi menuju panunggalan merupakan realitas dari keberadaan Sang Yogi kini (vastu tattvam). (YS IV.9 - IV.14)
            Sebagai penjelasan atas paparan sutra-sutra sebelumnya, kini Patanjali memaparkan prinsip hukum semesta berkaitan dengan sebab-akibat yang saling bergantungan dari semua keberadaan, disamping kesinambungan proses evolusi yang dialami oleh seorang Yogi yang belum berhasil menuntaskan evolusinya.
Sepanjang masih ada yang memotivasi kemunculan suatu sebab, maka selama itu pula akibat akan tetap menyertainya. Segala macam bentuk kelahiran, berapa lama, kapan serta dimana kelahiran itu terjadi, apakah dalam wujud kasar dengan panca mahabhuta maupun halus hanya menggunakan kelima atau beberapa tan matra saja, akan selalu terjadi. Semua itu berpangkal pada adanya penyebab, motif, struktur atau susunannya, serta tujuan-tujuannya yang masih tersisa. Demikian pula pada waktu atau jaman apa kelahiran berikutnya akan terjadi, dan berapa lama harus dialami. Dalam pada itu, kelangsungan waktu berjalan sesuai hukumnya, masa depan menjadi masa kini, dan masa kini terlewati dan menjadi masa lalu. Prinsip kosmis yang mengatur segala keberadaan. Berdasarkan hukum kosmis itulah, bila seorang pendamba kebebasan, penyatuan, dalam kurun tertentu mengakhiri hidupnya pada satu alam kehidupan tertentu, kesan-kesan (samskara) serta ingatan-ingatannya akan dambaannya itu tetap terbawa sebagai benih-benih perbuatan bagi kelahiran berikutnya (kriyamana karma vasana) untuk diteruskannya. Kriyamana karma vasana inilah yang menjadi benih kelahiran demi kelahiran di berbagai alam kehidupan, kasar maupun halus. Ia menjadi sahabat setia dalam berbagai kelahiran. Beruntunglah mereka yang telah terjun ke dalam Yoga, para pendamba penyatuan dan kebebasan (mumukshu) dalam kelahirannya ini; pencapaian yang diraihnya dalam kehidupan ini membentuk vasana-nya dan akan terus membimbingnya dalam evolusi spiritual pada kelahiran-kelahiran berikutnya. Itulah sesungguhnya yang menjadi realitas keberadaannya; evolusi yang berkelanjutan hingga tercapainya tujuan akhir, menyatu dan melebur di dalamNya. Paradigma ini, juga ditegaskan oleh Sri Krishna dalam Bhagavad Gita. Tujuan tetap sama, hanya pengkondisinya yang berbeda. Tujuan (vastu) tetap sama, sementara kondisi yang menyertai citta-lah yang berbeda karena cara kerjanya berbeda. Vastu tidaklah tergantung pada satu kondisi tertentu dari citta saja, karena bila kondisi itu tak hadir, lantas apa yang akan terjadi padanya? Oleh terjadinya pencitraan terhadap citta yang disebabkan oleh pusaran-pusaran pikiran inilah vastu menjadi disadari atau tidak disadari (jnatajnatam).  Pengetahuan yang ajeg merupakan modifikasi-modifikasi dari citta juga adanya, namun bagi Sang Yogi, itu terkendali sepenuhnya oleh kehadiran Hyang Purusa yang tiada berubah. (YS IV.15 - IV.18)
            Bagi yang telah terjun menuju kebebasan, tujuan satu-satunya adalah kaivalyam. Mereka ini juga disebut sebagai pelawan arus, yang dengan gagah berani terjun melawan arus tumimbal lahir yang maha deras ini. Sekali tujuan ditetapkan dalam suatu kelahiran, ia akan mengalir sebagai missi lanjutan dalam kelahiran-kelahiran berikutnya. Mungkin saja citta dalam suatu kelahirannya atau dalam kondisi tertentu, tampak berbeda  akan tetapi citta sesungguhnya jernih, dan kembali terjernihkan seperti sediakala. Pengalaman-pengalaman dari pendakian spiritualnya di masa lalu, pasti muncul kembali sebagai vasana spiritual. Paradigma ini seringkali mengecoh banyak orang. Jangankan orang awam, para peminat dan penekun-pun bisa terkecoh karenanya padahal keterkecohan itu tak perlu terjadi bila Hukum Karma Phala dan Samsara benar-benar dipahami. Yang bijak mengatakan bahwa, derajat kesucian batin seseorang hanya dapat diketahui oleh mereka yang memiliki kesucian batin yang sekurang-kurangnya setara dengannya. Pengalaman-pengalaman pada kehidupan lampau yang tersublimasi berupa vasana inilah yang mewarnai atau memberi citra artifisial kepada pandangan murni, seperti juga halnya dengan pengalaman-pengalaman dalam kehidupan ini. Mereka mengendap sebagai kesan-kesan mental dan ingatan dan membentuk kebiasaan-kebiasaan. Nah, kumpulan mereka inilah yang terrefleksi di permukaan berupa kepribadian berikut nasib seseorang dalam setiap kelahirannya.
2.2       Kondisi-kondisi Bhatin Pada Raja Yoga.
            Raja Yoga memberikan perhatian khusus terutama pada batin, modifikasi-modifikasinya dan pengendaliannya. Ada lima kondisi batin yakni, Kshipta, Mudha, Vikshipta, Ekagra (Ekagrata) dan Niruddha. Umumnya pikiran yang adalah proponen batin yang paling aktif berlarian ke segala arah sinar-sinarnya terpencar dan kacau. Inilah yang disebut dengan kondisi Kshipta. Terkadang batin lupa diri, ia dipenuhi oleh kedunguan (Mudha). Ketika Anda berlatih berkonsentrasi, pikiran tampak dapat terpusat sejenak, namun cepat terganggu lagi. Kondisi batin inilah yang dinamakan Vikshipta. Akan tetapi bila ia bertahan lebih lama dan telah dilatih secara berulang-ulang, dan dibantu dengan merafalkan Nama Tuhan, ia menjadi terpusat pada satu titik. Keterpusatan inilah yang disebut kondisi Ekagrata. Nantinya, iapun sepenuhnya terkendali Niruddha. Ia siap untuk tercerap dalam Parama Purusha, ketika Anda memasuki Asamprajñata Samãdhi.
            Guna mencapai kedamaian batin, Anda harus menyemaikan empat sifat-sifat luhur Maitri, Karuna, Mudita and Upeksha. Anda harus punya Maitri (rasa persahabatan yang penuh welas asih), Anda memandang semuanya dalam sikap batin yang setara. Anda harus memiliki sifat Karuna (rasa belas kasihan) kepada mereka yang sedang dirundung malang. Andapun mesti punya Mudita (rasa empati dan bersimpati) pada mereka yang lebih beruntung dari Anda. Rasa kebercukupan atau belas-kasihan secara pasti menghancurkan kedengkian. Semuanya adalah saudara-saudara kita. Bila seseorang ditempatkan pada posisi yang lebih baik dari Anda, berbahagialah atasnya. Bila sedang lewat di antara orang-orang hina, pandanglah mereka tiada beda dengan kita. Inilah yang dinamakan Upeksha (stabil dalam tiada membeda-bedakan). Dengan jalan ini Anda akan mencapai kedamaian hati.

2.2.1    Noda- Noda yang Terdapat di dalam Bhatin.
            Lima Noda batin yang merupakan sumber penderitaan adalah :
1)         Avidya yaitu kebodohan batiniah: memandang kekal yang tidak kekal,        murni   yang  tak murni.
2)         Asmita yaitu sifat egoism.
3)         Raga yaitu keterikatan atau kecintaan.
4)         Dvesha yaitu keengganan, penolakan atau kebenciaan, dan
5)         Abhinivesha yaitu keterikatan yang kuat pada kehidupan rendah, yang        menimbulkan ketakutan yang amat sangat pada kematian.
            Samadhi menghancurkan semua ini. Raga dan Dvesha,  rasa suka dan tak   suka,    punya lima kondisi yaitu : Udara (termanifestasikan sepenuhnya),          Vicchinna (tersembunyi atau terselubung), Tanu (menipis), Prasupta             (tidak aktif ) dan Dagdha (terbakar musnah). 
            Pada manusia duniawi yang masih terlelap dalam keduniawian, Raga dan Dvesha merupakan Udana Avastha. Mereka ada dalam kondisi yang meluas; maksudnya, Raga dan Dvesha bermain secara penuh dan tanpa tendeng aling-aling lagi. Vicchinna Avastha adalah kondisi dimana Raga dan Dvesha tersembunyi. Pasangan suami-istri terkadang bertengkar  saat itu cinta tersembunyi sejenak. Setelah si istri tersenyum kembali, cintapun menampakkan dirinya lagi. Inilah contoh dari Vicchinna Avastha. Beberapa orang yang melakukan sedikit Pranayama, Kirtan dan Japa. Pada mereka Raga dan Dvesha mulai menipis; kondisi inilah yang dinamakan Tanu Avastha. Terkadang pula, berhubung kondisinya tidak sesuai, mereka dalam kondisi tidak aktif (Prasupta Avastha). Namun dalam Samãdhi mereka terbakar musnah (Dagdha).
Raga dan Dvesha memastikan Samsara ini.
            Pikiran (manas) adalah suatu kekuatan yang tidak memiliki suatu entitas nyata, namun sementara waktu seolah-olah demikian, dan menyelubungi Jiwa. Ia mengatasi Prana. Ia juga mengatasi materi. Akan tetapi di atas pikiran ada kemampuan memilih dan memilah-milah (Viveka). Viveka dapat mengendalikan pikiran kerinduan terhadap Diri-Jati Anda atau Atma Vichara dapat mengendalikan pikiran. Bilamana Anda telah menghancurkan Raga Dvesha lewat meditasi dan Samadhi, pikiran akan sirna (tiada berdaya lagi). Yang mesti Anda upayakan setiap hari adalah melatih konsentrasi ke dalam (dharana), walau hanya lima atau sepuluh menit Andapun akan mampu mengendalikan pikiran dan memasuki alam Samadhi.
2.2.2    Yang Menghalangi Pencerahan Sempurna
            Buddhi tidak bersinar sendiri, sebab ia berasal dari apa yang dicerap (drsyatvat) dan pada saat yang bersamaan dua hal tak dapat dicerap sekaligus.
Kesadaran hanya bertindak sebagai perantara dari ingatan dan kesan-kesan yang dicerap oleh buddhi dan mengacaukannya; ini merupakan kemunduran. (YS IV.19 dan IV.21)
             Dalam kejernihan, dalam hening, yang bekerja hanya kesadaran dan pencerapan atau persepsi murni. Pencerapan murni sebetulnya juga buddhi adanya. Namun disini ia ada dalam keadaan pasif. Ia tidak pilih-pilih dan tidak melakukan kerja menilai, bahkan tidak melakukan pencerapan secara khusus. Ia lebih terfungsikan sekedar sebagai pemerhati. Seperti telah disampaikan sebelumnya, smrti, vasana-vasana dan samskara-samaskara-lah yang memberi pewarnaan terhadap apa yang dicerap. Mereka hanyalah hasil cerapan dari buddhi. Buddhi-lah yang mencerap dan mengalami pewarnaan itu; bukan citta. Bilamana pewarnaan ini terjadi, maka ini merupakan kemunduran bagi sang penekun. Berikut ditegaskan kembali bahwa (Sesungguhnya) citta tidak dipengaruhi oleh samskara yang berubah-ubah adalah buddhi, oleh karena buddhi mengadakan identifikasi menurut intuisinya. Ia yang menyadari, paham kalau semua itu hanyalah pemahaman yang telah mengalami pewarnaan. Walaupun diperlengkapi dengan tak-terhitung banyaknya keinginan yang disebabkan oleh kombinasi dari vasana-vasana, namun semua itu dipahami hanya sebagai pewarnaan atau pencitraan saja.  (YS IV.22 - IV.24)
            Bila suatu benda berwarna didekatkan pada sebuah kristal asli yang jernih, maka warna dari benda tersebut tampak mewarnai kristal itu. Bila benda berwarna merah yang mendekatinya, maka merahlah tampaknya kristal itu walaupun sesungguhnya, kristal tersebut tidak berwarna. Daya serapnya yang besar terhadap cahayalah yang menyebabkan ia seolah-olah berwarna. Secara analogis, dapat dikatakan bahwa daya serap itu merupakan perangkat kerja dari buddhi, dan kristal itu adalah citta. Menyadari kalau demikian kejadiannya, para bijak berulang-ulang mengajurkan para penekun untuk bergabung dan mendekatkan diri dengan para bijak dalam satsanga, guyub dengan para suciwan, dan menjauhi paguyuban tak senonoh. Dengan demikian, apa yang tercerap akan terseleksi, sehingga bersifat mengingatkan dan mengarahkan pada penjernihan kembali citta dan menguatkan viveka. Viveka senantiasa menyertai Sang Yogi.
            Bagi yang telah sempurna visi spiritualnya (visesa darsina atma), Atmannya sepenuhnya terlepas dari gelora perasaan dan gejolak pikiran.
Sejak inilah viveka menjadi sentosa, dan kesadaran menggapai Kaivalya.
Walaupun masih terjadi selingan berupa kemunculan pemikiran-pemikiran lain, sebagai konsekwensi dari kecenderungan-kecenderungan sebelumnya (samskarabhyah) hingga interval tertentu, pemusnahannya tak sulit lagi sama halnya dengan pemusnahan klesa  (yang sudah dipaparkan sebelumnya).
(YS IV.25 - IV.28)
            Yoga memang merupakan pengembangan dari Sankhya. Dalam Sankhya belum menyebut-nyebut  Isvara maupun Atman, dan hanya menyebut Purusa. Demikian pula halnya dengan citta, Sankhya menyebutnya mahat yang secara esensial dapat dipadankan dengan citta. Baik mahat maupun citta bukanlah produk, namun lebih merupakan gagasan-awal yang melatari diproduksinya berbagai produk. Persis di bawah citta ada buddhi intelek, daya cerap, setelah itu barulah asmita dan manas menyusul. Buddhi, asmita dan manas barulah merupakan produk, dan berada dalam hierarki yang lebih rendah dibanding citta.
            Dalam Wrhaspati Tattwa dan Tattwa Jnana ditemukan istilah ambek yang dalam penggunaannya dapat diartikan sebagai hasrat yang kuat yang diserta semangat yang muncul sebagai akibat dari munculnya bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan akibat terjadinya interaksi dan adanya kontak-kontak indriawi maupun ingatan. Ia merupakan jelmaan langsung dari manas. Daripadanyalah muncul berbagai bentuk keinginan yang begitu banyak jumlah dan ragamnya. Beliau yang telah jernih, yang telah bersinar kembali cittanya, vivekanya pun jadi semakin sempurna. Oleh karenanyalah seperti yang disebutkan dalam sutra tadi manas dan ambek tak lagi mempengaruhi beliau. Pemusnahan samskarabhyah disebutkan sama dengan pemusnahan klesa. Pada prinsipnya ia adalah pemusnahan ego, asmita atau ahamkara itu sendiri. Egolah sumber dari klesa yang lainnya. Ego menjadikan segala sesuatunya terpusat pada si diri semu ini. Disinilah semua itu bermukim dan berpotensi mengotori. Asmita  terutama didominasi oleh rajas dan tamas. Sesuai kejadiannya, asmita masih terhitung adik kandung dari buddhi walaupun ia amat kuat, sesungguhnya buddhi yang terlengkapi viveka mampu menundukkannya. Namun, bagi seorang Yogi yang telah bersinar kembali cittanya, kabut klesa sirna secara pasti, tak ubahnya kabut pagi yang sirna bersamaan dengan terbitnya sang mentari.

2.4       Jalan Kesucian sekaligus Jalan Kelepasan.
            Setelah mengikuti dengan seksama paparan Patanjali, kita seakan dihadapkan pada ketidakmungkinan untuk menggolongkannya ke dalam satu jalan spiritual saja. Yama dan Niyama saja misalnya, merupakan landasan disiplin moral bagi penekun jalan spiritual manapun. Bahkan mereka tidak terbatas pada agama, ras, bangsa dan suku bangsa, jenis kelamin, usia maupun profesi. Mereka tak hanya dibutuhkan manusia di jaman Veda saja. Mereka dibutuhkan oleh umat manusia di segala jaman dan dalam segala situasi dan kondisi.
            Yama dan Niyama bersifat universal, mereka jelas bukan hanya milik bangsa India ataupun umat Hindu saja. Mereka merupakan tatanan moral etik luhur bagi umat manusia, yang sarat nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan holistik. Ini dimungkinkan oleh karena para bijak dan orang-orang suci jaman dahulu merancangnya lewat pengetahuan intuitif beliau yang sempurna terhadap kondisi variatif dari setiap manusia dalam sifat-sifat fisikal, mental maupun spiritualnya. Mereka bukan juga sebentuk spekulasi filosofis atau sekedar ajaran moral etik yang tidak implementatif samasekali, dogmatik, tak masuk akal atau bersifat takhyul.
            Bhakti dan Karma Marga terkandung secara nyata dalam paparan awal Sadhana Pada, dalam sebutan Kriya Yoga. Disana ada pola hidup sederhana dan pengekangan diri dari rongrongan hawa nafsu dan berbagai keinginan melalui laku tapa, sebagai terapan untuk mensucikan diri lahir batin. Ada pula Isvarapranidhana, penyerahan dan perlindungan hanya kepada Tuhan. Di dalamnya ada rasa sujud, penyerahan diri dan bhakti, ada pelayanan yang tanpa pamerih (nishkama karma). Disana juga ada pembelajaran-diri secara mandiri (svadhyaya), yang menjauhkan kita dari sikap dogmatis dan fanatisme.Viveka dan vairagya serta petunjuk-petunjuk dalam memupuk jñana dan prajña memberi suatu ciri Jnana Marga yang kuat pada Yoga Sutra. Bahkan, Yoga Sutra memaparkan tri pramana, tiga metode penalaran dalam memperoleh vidya, bahkan mencapai jnana. Baik viveka maupun vairagya disebut-sebut secara berulang dalam banyak sutra-sutranya. Menjelang mengakhiri Yoga Sutra, kembali Patanjali menegaskan: “Lalu, semua kekotoran batin sirna, oleh karena bagi pengetahuan suci yang tiada terbatas, semesta material hanya kecil saja, tiada arti.” Ini menyiratkan dengan jelas betapa Patanjali memberi arahan langsung pada penguasaan jnana. (YS dan Kundalini).
            Belakangan, ternyata Maharshi Vyasa pun memberi dukungan kuat terhadap arahan ini. Lewat Bhagavad Gitanya dengan gamblang Sri Krishna memaparkan:
“Diantara mereka (yang memuja-Ku), jnani selalu memusatkan pikirannya dan berbakti pada Yang Tunggal, adalah yang termulia, dia sangat Ku kasihi karena diapun amat mengasihi-Ku. Memang mereka semua mulia, akan tetapi jnani 'Ku pegang sebagai Diri-Ku Sendiri, sebab jiwanya seimbang sempurna dan tujuan tertingginya hanyalah Aku. Pada banyak akhir dari kelahiran manusia, jnanavan datang pada-Ku karena tahu Vasudeva adalah segalanya. Sungguh sukar dijumpai mahatma serupa ini.”
            Seorang jnani akan dengan gigih memberdayakan manas guna merebut vidya. Karena beliau menyadari betul betapa “sa vidya ya vimuktaye” pengetahuan bisa mengantarkan pada vimukti, kebebasan seperti yang juga disebutkan oleh Yajurveda. Sementara beliaupun mengingatkan bahwasanya “vidya vuhina pasu” tanpa menguasai vidya manusia tak ubahnya binatang seperti yang disebutkan oleh penyair Bhartrihari dalam Nitisatakam-nya, yang kesohor itu. Pertanyaannya kini adalah, bagaimana memberdayakan manas untuk merebut vidya. Untuk ini, Sri Sankaracharya memberi petunjuk, yakni dengan mempelajari Catur Veda, Sad Darsana, Upanishad-upanishad, Bhagavad Gita dan Brahmasutra. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk itu? Untuk mempelajari hingga betul-betul menguasainya, boleh jadi dibutuhkan banyak kelahiran, seperti yang pernah dialami oleh Rshi Bharadvaja. Dikisahkan bahwa, selama tiga kelahiran berturut-turut beliau mempelajari semua itu. Nah, disinilah Yoga dengan jelas memposisikan dirinya sebagai solusi alternatif. Yoga mengantarkan langsung pada Panunggalan dengan Tuhan. (sumber dari Veda-veda).
            Yoga Marga atau lebih umum dikenal sebagai Raja Yoga juga dikenal sebagai jalan spiritual mistis. Ini mungkin terlahir dari kenyataan, dimana Patanjali memberi porsi yang cukup besar pada upaya mistis dalam Vibhuti Pada, yang dengan panjang lebar memaparkan perolehan kekuatan-kekuatan spiritual mistis (siddhi-siddhi) lewat samyama terhadap objek-objek eksternal maupun internal tertentu. Sementara itu, di banyak bagiannya, Patanjali juga wanti-wanti mengingatkan bahwa bukan itu tujuan Yoga mereka hanya efek samping, yang bahkan dapat mengakibatkan kejatuhan bagi Sang Yogi. Sementara itu, Pranava Japa, basis dari Japa Yoga, disinggung dalam lebih dari satu sutra.
            Makanya, akan terlampau menyempitkan, bilamana Yoga Sutra hanya dipandang sebagai salah-satu marga saja. Jauh lebih mengena bilamana memandangnya sebagai suatu pustaka suci lengkap tentang Yoga yang memaparkan secara mendasar pokok-pokok ajaran dan manual dalam delapan tahapan praktis bagi berbagai kecenderungan manusia. Walaupun sejak awal Patanjali dengan tegas merumuskan Yoga sebagai ‘citta vritti nirodha’, tak urung sementara penekun cenderung terjebak dalam pencapaian siddhi-siddhi dan jatuh dari tujuan luhurnya. Apa yang kita saksikan disini adalah kelemahan umum kita, disamping menegaskan kembali kekuatan Prakriti lewat trigunanya. Mungkin karena menyadarinya kelemahan-kelemahan umum manusia, pada bagian akhir Vibhuti Pada Patanjali menyampaikan pengingatannya: “Manakala antara sattvam dan Purusa telah sama-sama sucinya, inilah Kaivalyam”. Dalam Samãdhi Pãda sebelumnyapun beliau sudah mengingatkan: “Setelah terpenuhi segala manfaatnya, evolusi dari transformasi triguna-pun terhenti. Tujuan akhir Purusa tercapai bersamaan dengan sirnanya guna guna kembali ke alamnya (Prakriti)”.
            Pada akhir Kaivalya Pada, penulis dengan lancang mencoba memberi kesimpulan bahwasanya Yoga seperti yang diajarkan dalam Yoga Sutra tiada lain adalah Jalan Kesucian (Visuddhi Marga) menuju pada Kelepasan Sempurna terbebas dari siklus Samsara. Bagaimana kesimpulan itu ditarik? Bagaimana argumentasinya sehingga disebut demikian? Inilah yang kita coba simak secara ringkas berikut ini. Ada beberapa konsepsi mendasar yang menggiring kita pada penyimpulan seperti itu. Yang pokok untuk ditinjau disini adalah adalah :
1) Essensi dari Asana, Pranayama dan Pratyahara.
2) Essensi dari Yama, Niyama, khususnya Sauca dan Tapa.
3) Citta vritti nirodha.
            Sebagai jalan spiritual praktis, ia tidak saja memaparkan konsepsinya saja, namun wajib memberi tuntunan penerapannya secara praktis berupa sadhana-sadhana lahiriah dan batiniah yang mungkin untuk dilakoni. Asana dan Pranayama, memberi tuntunan praktis berupa sadhana-sadhana lahiriah, guna membentuk ketahanan tubuh, menjaga kondisi kesehatan, memberdayakan dan mengendalikan daya vital atau prana. Dalam ketahanan itulah dapat diharapkan terbangunnya ketahanan mental-spiritual serta sikap mental yang tangguh yang dibutuhkan di dalam menjalaninya. Sementara Yama dan Niyama merupakan disiplin moral etik yang membentuk sikap batin luhur, kedewataan. Pratyahara, disamping sebagai konservasi daya vital, dengan meniadakan pemborosan prana melalui kontak-kontak indria dengan objek-objeknya, juga memperkokoh vrata dan memungkinkan lahirnya pemahaman yang lebih baik, lengkap dan menyeluruh tentang si diri itu sendiri. Ini berarti tersimpannya cukup enerji-fiskal dan enerji mental guna mempertahankan dan memperkokoh sikap-mental dalam berkehidupan suci.
            Oleh karenanya pula, bagi seorang penekun sejati, dianjurkan untuk menjadikan Pratyahara sebagai terminal. Nah inilah yang secara lahir batin menjadikan manusia siap untuk mententramkan batinnya sendiri. Manas yang tentram, akan mudah dijinakkan untuk kemudian dikendalikan. Daripadanya, Buddhipun jernih dan bersinar terang guna diarahkan menuju tataran mental-spiritual yang lebih dalam lagi, hingga akhirnya Citta termurnikan kembali. Inilah titik kulminasi dari proses pensucian itu citta vritti nirodhah. Sekali lagi, besar harapan saya apa yang mampu dipersembahkan lewat buku ini ada manfaatnya bagi Anda. Semoga kita semua selalu ada dalam bimbingan dan limpahan anugrahNya. Semoga Cahaya AgungNya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita.(Yoga Sutra Patanjali)

2.5       Pengembangan Kemampuan Intuitif dan Bahaya Siddhi-siddhi.
            Antara Sattva dan Purusa benar-benar sulit dibedakan sementara itu segenap pengalaman dikualifikasikan dalam kerancuan pemahaman seperti itu
melalui Samyama pada manfaat Purusa diperoleh pengetahuan tentang Purusa, sehingga dapat dipilah dengan yang bukan Purusa. Darisana pula pendengaran, penglihatan, sentuhan, kecapan dan penciuman intuitif dilahirkan. (YS III.36 dan III.37). Tak banyak yang perlu dikomentari dari kedua sutra ini, kecuali pengembangan intuisi lewat Samyama dan penegasan lagi bahwasanya guna sattvam bisa sangat mengelirukan dengan Purusa. Purusa jernih, transparan, netral, tak terjangkau oleh nalar atau kecerdasan (buddhi) manusiawi yang tanpa sifat; sedangkan sattva adalah salah-satu sifat atau kekuatan luhur dari Prakriti. Sattva ditandai dengan pertimbangan-pertimbangan yang mengarah pada kebajikan, moralitas dan pengetahuan suci. Dialah yang mewarnai citta, dan citta yang terwarnai olehnya disebut buddhi.
            Dalam Samadhi Pada, ini telah disinggung. Ia merupakan ajaran Sankhya yang juga diadopsi oleh Yoga. Memang, pengetahuan tentang itu hanya lewat mempelajari dari buku-buku kemudian menghafalkannya, bukanlah Yoga. Yoga mengantarkan pada penyelaman jauh lebih dalam. Ia mengantarkan pada pengalaman langsung sehingga Sang Yogi memahami dengan merasakannya secara langsung. Siddhi-siddhi, betapapun pentingnya itu dipandang dari sudut duniawi, merupakan penghalang-penghalang tercapainya Samadhi. Dengan melepaskan penyebab dari keterikatan (bandha karana) dan melalui pengetahuan tentang penetrasi, citta bisa memasuki tubuh lain. (YS III.38 - III.39)
            Seperti juga telah diingatkan oleh Sri Swami Sivananda pada awal bagian ini, sutra III.38 ini menegaskan lagi bahaya dari siddhi-siddhi ini. Sutra III.5, sebelumnya telah sejak dini mengingatkan tentang kemana Samyama hendaknya diarahkan. Bagi siddhi-siddhi ini Swami Satya Prakas Saraswati malah memberi penegasan kalau semua hasil-hasil gaib itu tidak ada hubungan apapun dengan Yoga. Seorang Yogi tidak mencari siddhi, kesaktian atau berbagai kekuatan gaib lainnya. Siddhi malah merupakan godaan dan seorang Yogi harus amat waspada agar jangan sampai tergoda. Ini akan menyeret dan menggelincirkannnya ke bawah, sehingga lenyaplah segala apa yang telah dicapainya. Kemampuan-kemampuan Eksternal Dan Internal yang diperoleh dari Samyama. Dengan menguasai Udana, air, lumpur, duri, dan yang lainnya tidak dapat menyentuh kematianpun teratasi. Dengan menguasai Samana, kerja api pencernaan diketahui.
(YS III.40 dan III.41)
            Apa yang dipaparkan dalam dua sutra ini merupakan pencapaian eksternal dapat dikatakan tidak terkait langsung dengan pencapaian tujuan akhir. Dengan tersingkirkannya abhinivesa, sirnalah ketakutan akan kematian. Jadi, bagi Sang Yogi itu tak perlu diatasi lagi. Dengan berusaha mengatasinya, malah mencerminkan bahwa Sang Yogi belum berhasil menghancurkan abhinivesa-nya. Sesungguhnya Sang Yogi tak takut mati, disamping beliau telah mengetahui ke alam apa beliau terlahirkan, atau bahkan tidak terlahirkan kembali di alam manapun sesudah ini. Jangankan beliau sendiri, orang lain atau makhluk lainpun dapat beliau ketahui asal dan tujuan kelahirannya. Mungkin paparan ini dimaksudkan Patanjali sebagai peringatan saja artinya bila itu dicapai, berarti Samyama yang dilakukan sudah baik dan benar langkah-langkahnya. Jadi sejenis rambu-rambu saja dalam perjalanan sadhana. Prana, Apana, Samana, Vyana dan Udana adalah lima daya vital utama yang disebut juga Panca Prana, seperti yang pernah disinggung sebelumnya. Dengan samyama pada telinga-angkasa (srotra akasa), datang pendengaran dewata atau pendengaran bijak (divyasrotra).
Samyama pada hubungan antara tubuh-angkasa (kaya akasa), datang keringanan bagai kapas dan kemampuan menjelajahi angkasa. Samyama pada kesadaran yang di luar jangkauan kecerdasan, mahavideha dicapai dengan begitu tabir penutup sinar kesadaranpun hancur. (YS III.42 dan III.44)
            Ada dua pencapaian bersifat internal yang menarik disampaikan disini; masing-masing adalah divyasrotra dan mahavideha. Divyasrotra adalah pendengaran dewata. Kemampuan ini memungkinkan Sang Yogi untuk mendengar dan mengerti bahasa segenap makhluk hidup. Beliau juga mengerti bahasa yang digunakan oleh para dewa dan Tuhan sendiri di dalam memberikan petunjuk, bimbingan dan pengajaran. Yogi dengan kemampuan seperti inilah yang mampu menerima wahyu ilahi. Mahavideha adalah kemampuan tingkat tinggi dimana Sang Yogi telah sepenuhnya mengatasi badan fisikal, daya vital dan mental. Mereka telah sepenuhnya takluk dan ada dalam kekuasaan Sang Mahavideha, yang adalah sosok kesadaran ilahi. Disebutkan juga bahwa triguna kekuatan yang ada pada dan menguasai setiap wujud telah kehilangan daya cengkeramnya bagi beliau. Beliau bisa dengan mudah berganti-ganti mengenakan wujud, berganti dari wujud yang satu ke wujud yang lainnya. Alam wujud telah beliau tundukkan karena kini beliaulah pengejawantahan dari Hyang Purusa itu sendiri. Bagi beliau tak ada sesuatupun yang tidak diketahui. Melalui Samyama pada materi kasar (sthula), bentuknya, kehalusannya, kandungannya dan manfaatnya, dunia material teratasi (bhuta jaya). Kemudian daripadanya tercapai anima dan yang lainnya (mahima, laghima dsb.), kesempurnaan tubuh dan kesempurnaan ketahanannya yang bersifat prinsipil. Wajah yang indah, keanggunan, kekuatan, dan kekerasan bak guntur merupakan kesempurnaan tubuh.(YS III.45 - III.47)
            Pencapaian-pencapaian eksternal seperti yang banyak dipaparkan dalam Pada ini, hendaklah dimaknai sebagai yang memberi kemudahan-kemudahan bagi seorang Yogi di dalam mencapai tujuan akhir. Halangan-halangan atau hambatan-hambatan yang bersifat jasmaniah atau keduniaan mungkin saja dialami oleh sang Yogi dalam pendakian spiritualnya karena karmavasana dari kehidupan lampaunya yang tak dapat ditolak. Disinilah kemudahan-kemudahan ini akan bermanfaat sebesar-besarnya demi kesempurnaan jnana, viveka dan prajna dari Sang Yogi.

2.6       Tercapainya Cita-cita Sang Yogi
            Yang diharapkan dari Pemanfaatan Samyama yang benar.
Melalui Samyama terhadap kejadian-kejadian dan kelangsungannya, dicapai viveka. Darisini muncul ketajaman visi terhadap lebih dari satu hal atau kejadian yang serupa, yang tidak dapat dibedakan menurut kelas, karakteristik, atau posisinya. Pemahaman secara simultan terhadap semua objek berikut setiap aspeknya adalah viveka-jnana. (YS III.53 - III.55)
            Viveka-jnana merupakan pencapaian internal, sebagai kulminasi pendakian spiritual seorang sadhaka. Disini tampak bahwa yoga mengarahkan para sadhaka pada Jnana Yoga atau menjadi seorang jnani sempurna. Dalam berguru spiritual di jaman dahulu, konon yang mula pertama diminta adalah penguasaan viveka dan vairagya, demikian Swami Krishnananda pernah mengutarakan. Terkait   dengan  itu  ada baiknya  kita  simak paparan pengalaman
J. Krishnamurti, dalam masa persiapannya sebelum memasuki tingkat diksha (inisiasi). Dalam sebuah kitab kecil, yang ketika itu ditulisnya di bawah bimbingan Annie Besant, yang diberi judul (dalam bahasa Indonesia) "Dikaki Guru Sejati", diungkap:
“Mereka yang berdiri disamping-Nya, tahu apa sebabnya mereka ada disini, dan apa yang seharusnya mereka perbuat, merekapun berusaha melakukannya. Orang-orang lain, belum tahu apa yang harus mereka kerjakan, dan oleh karena itu mereka sering berbuat bodoh. Mereka mencoba menemukan jalan untuk diri sendiri, yang menurut pikiran mereka akan memberi kesenangan pada mereka, tanpa mengerti, bahwa semuanya adalah Satu dan dengan hanya menuruti kehendak Yang Satu itulah sebenarnya kebahagiaan teranugrahi kepada siapapun juga. Semestinya mereka mengikuti yang sejati, akan tetapi mereka malah mengikuti yang tidak-sejati. Sebelum mereka dapat belajar membedakan yang dua itu, belumlah mereka menempatkan dirinya di sisi Tuhan. Jadi, penguasaan viveka adalah langkah yang pertama”.
            Seperti yang dipaparkan dalam sutra III.55, Samyama hendaknya diarahkan pada penyempurnaan viveka-jnana, ia jelas bukan untuk mengumpulkan berbagai siddhi, atas dalih apapun. Patanjali memaparkan Yoga Sutra ini utamanya guna menunjukkan jalan menuju Kaivalyam bukan untuk menjerumuskan siapapun lantaran dibelenggu oleh siddhi-siddhi itu. Bagi mereka yang memang punya motivasi-awal ingin menarik dan mengumpulkan pengikut sebanyak-banyaknya, siddhi-siddhi tentu merupakan pencapaian penting yang amat didambakan. Siddhi-siddhi kemampuan adikodrati yang memang mengagumkan ini amat menggiurkan dan punya daya-tarik yang besar bagi kebanyakan orang. Awam amat mudah dikecoh dan ditarik lewat pamer siddhi-siddhi ini. Paradigmanya bak ‘gayung bersambut’. Padahal Ashtanga Yoga samasekali tidak dirancang untuk itu. Ini akan lebih ditegaskan lagi oleh Patanjali dalam Kaivalya Pada.
            Dalam “Understanding Yoga”, Sri Swami Sivananda dengan mengingatkan para peminat Yoga agar berhati-hati. Beliau memaparkan beberapa contoh yang umum ditemukan, yang beliau tegaskan sebagai ‘bukan Yoga’. Diantara contoh-contoh yang seringkali mengelirukan dan mengecoh awam itu adalah: Seorang lelaki mengubur dirinya hidup-hidup dalam satu kotak di bawah tanah.  Ia melakukannya dengan menutup lubang hidungnya dengan menggunakan  Khechari Mudra (salah-satu cara pengaturan nafas dalam HathaYoga). Tanpa diragukan lagi, ini memang sebuah Kriya yang sulit. Ia kemudian memasuki Jada Samãdhi. Ini merupakan suatu keadaan seperti tidur nyenyak. Samskara-samskara dan vasana-vasana tidak terbakar melalui Samãdhi ini. Ia tidak bangkit kembali dengan membawa serta pengetahuan luhur superintuisional (jnana).
            Ini tak dapat memberikan Mukti atau Kebebasan. Ini hanya sejenis pertunjukan prestasi kekuatan saja. Ini bukanlah ciri spiritualitas sejati. Orang-orang umumnya memanfaatkan Kriya ini untuk mendapatkan uang, nama dan kemasyuran. Setelah mereka keluar dari kotak itu, merekapun menengadahkan tangannya meminta uang. Mereka juga seringkali membuat transaksi terlebih dahulu, sebelum mereka masuk kedalam kotak itu, kemudian Seseorang yang terikat tangan dan kakinya dengan rantai besi dan dikurung dalam satu ruangan. Sebelum Anda mengunci pintu ruangan itu ia berdiri di belakang Anda. Masuklah ke dalam ruangan untuk melihatnya; Andapun melihatnya masih disana. Tak diragukan lagi, ini tentu teramat mengagumkan. Ini hanyalah sebuah trik. Ini sejenis jãlam atau ilusi, dan Beberapa orang dapat duduk di atas selembar papan yang dipenuhi paku-paku tajam sambil mengunyah ular layaknya mengunyah coklat. Bila Anda menusukkan sebatang jarum panjang  pada kedua tangannya; tak ada darah yang keluar.
            Masyarakat awam umumnya akan mudah terkecoh dan menyangka bahwa seseorang sebagai seorang yogi atau Guru spiritual, bila ia mampu menunjukkan beberapa bentuk siddhi. Ini benar-benar merupakan kekeliruan serius. Mereka tak seharusnya dipercaya secara berlebihan hanya lantaran itu. Awam amat mudah menjadi korban tipuan para yogi palsu ini. Mereka seharusnya menggunakan nalar sehatnya. Mereka seharusnya mempelajari cara-cara yang digunakan, kebiasaan-kebiasaan, watak, kelakuan, vritti, svabhava, keturunan, dsb., dari para calon Guru spiritualnya, dan bila perlu menguji pengetahuan mereka tentang kitab-kitab suci, sebelum mereka menarik suatu kesimpulan apapun tentang itu.

III        Penutup
3.1       Kesimpulan
            Manusia sebagai penyembah Tuhan mempunyai pemikiran yang berbeda daya tangkap yang berbeda, serta daya nalar yang bebeda untuk itu Tuhan memberikan berbagai macam jalan atau cara untuk hambaNya agar dapat mendekatkan diri denganNya. Ada yang melalui jalan bakti, pengetahuan, tingkah laku, ataupun pemusatan pikiran dengan melakukan yoga dan samadhi.
            Yoga menitik-beratkan pada metode pembebasan Purusha dari belenggu ini, melalui upaya yang benar. Oleh karena itu, Yoga lebih merupakan metode praktis guna pencapaian, ketimbang suatu paparan filosofis semata. Sebagai suatu sistem filsafat (Darsana), ia merupakan Sa Ishvara Sankhya, yaitu dengan memasukkan ke-duapuluhlima Tattva dari Sankhya serta menambahkan satu lagi yakni: Ishvara. Dengan demikian, Yoga melengkapi karakteristiknya sebagai suatu sistem Sadhana yang bersifat praktis. Ketika diselubungi oleh tembok penghalang kebodohan (Aviveka), Purusha menyangka bahwa Ia tidak sempurna, tak-lengkap, dan menyangka kalau kelengkapan itu hanya dapat dicapai melalui penggabungannya dengan Prakriti. Purusha lalu katakanlah demikian mulai menggapai Prakriti dan dengan disinari oleh kesadaran-Nya, Prakriti yang tiada berdaya (lembam) mulai mempertunjukkan berbagai objek-objeknya secara kaleidoskopis. Purusha, disebabkan oleh Prakriti-Samyoga penyamaan diri dengan Prakriti, tampak ingin merasakan kenikmatan dari objek-objek ini. Ia berbuat seperti yang sudah-sudah; tampak berupaya meraih objek-objek tersebut. Kini belenggu walaupun sesungguhnya tidak esensial bagi Purusha menjadi lengkap dan selanjutnya lingkaran visi serupa itu tersimpan terus. Transmigrasi dari masing-masing individu, seperti itu, adalah konsekwensi dari Aviveka beserta segala efek-efeknya. Yoga, melalui proses ilmiahnya, memotong lingkaran ini satu persatu dan mengantarkan menuju Kaivalya Moksha, yang merupakan realisasi dari Purusha (sejati), yang bebas dari Prakriti beserta segenap evolusinya.



Daftar Pustaka

-  Visvanathan. Ed. Apakah Saya Orang Hindu?, Am I A Hindu?. Manikgeni.        Pedungan. Denpasar.
-    Departemen Agama. Intisari Ajaran Hindu, Paramita, Surabaya, 2003.
- Irmansyah Efendi. Kundalini: Teknik Efektif untuk Membangkitkan,          Membersihkan, dan Memurnikan Kekuatan Luar Biasa dalam Diri Anda,            Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
-  Bansi Pandit. Pemikiran Hindu: Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu Dan           Filsafatnya, Paramita, Surabaya, 2006.
-    Sunetra, I Made. Laya Yoga, Paramita, Surabaya, 2004.
-    Patanjali, T.Th. Yogasutra dalam Svami Sivananda, 1988. All About Hiduism     (Diterjemahkan) : Intisari Ajaran Hindu oleh Tim Penterjemah Yayasan Sanatana Dharmasrama, Paramita. Surabaya). 1993.
- Tim Guru Agama Hindu Kelas III SMU-SMK Kabupaten Buleleng.         Pendidikan Agama Hindu.  Singaraja. 2002.
-    Saraswati, Suami Satya Prakas. Patanjali Raja Yoga. Paramita. Surabaya.                                  1996.
-    Parisada Hindu Dharma Indonesia. Raja Yoga :  Dasar-dasar Pemahaman dan                         Petunjuk-petunjuk Praktis bagi para Penekun.                                                                 www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=322&I                                    temid=93
-    Bharati, Suami Veda. Mantra, Inisiasi, Meditasi dan Yoga (Terjemahan : IGA.                           Paransita, S.E). Surabaya : Paramita. 2002.




0 komentar:

Posting Komentar