I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang.
Istilah yoga dalam bahasa
Sansekerta berasal dari akar kata “ yuj” yang berarti pasangan. Ini dimaksudkan
pasangan jiwa pribadi (jivatman)
dengan jiwa universal (paramatman).
Wujud pelaksanaan yoga dirumuskan sebagai suatu sistem untuk membudidayakan
hidup ini untuk perilaku manusia yang lebih tepat. Dengan tujuan antara lain
untuk melengkapi kekurangan dan memelihara kesehatan baik dalam badan jasmani dan rohani serta
untuk pengembangan intelektual diri. Yoga pada dasarnya adalah sebuah Cara atau Jalan Hidup.
Bukan sesuatu yang keluar dari kehidupan, bukan pula menjauhkan diri dari
aktifitas, melainkan merupakan performa yang ifisient dengan semangat hidup
yang benar. Yoga bukan pula melarikan diri dari rumah dan kebiasaan hidup
manusia, melainkan merupakan suatu proses pembentukan sikap untuk hidup di
rumah (keluarga) maupun hidup bermasyarakat dengan suatu pengertian baru, Yoga
bukan memalingkan dari kehidupan, Dia merupakan spiritual dari hidup.
1. Samadhipada : Isinya menguraikan tentang sifat, bentuk dan tujuan yoga. Selain itu juga diuraikan tentang pikiran bila seseorang melakukan
yoga serta cara-cara melakukan yoga.
2. Shadanapada : menguraikan tentang kriya yoga
(pelaksanaan yoga) untuk mencapai Samadhi, klesa (sumber penderitaan),
karmapala (hasil perbuatan) serta cara menghapus penderitaan
tersebut.
3. Vibhutipada : menjelaskan aspek dalam suksma serta kekuatan gaib yang diperoleh dengan jalan yoga.
4. Kaivalyapada : menjelaskan sifat serta bentuk kelepasan dan transedentalnya jiwa serta terpisahnya alam dunia ini.
Lebih lanjut tentang filsafat yoga dikenal dalam filsafat patanjali yang
diambil dari nama pendirinya yaitu Maha Rsi Patanjali. Sumber ajaranya
tercantum dalam Patanjala-sutra yang
disebut juga Kitab Yoga-sutra. Sifat
ajaran dari yoga ini adalah dualistik dan pluralistik. Sesungguhnya aliran Yoga
sangat erat hubungannya dengan aliran samkhya dalam pembahasan mengenai
asal-usul filsafat itu sendiri dengna menggunakan pengertian dan kesadaran
melalui penglihatan, kesimpulan, ucapan serta kesaksian amanat kitab-kitab
suci. Yang menjadi acuan dalam pelaksanaan praktis aliran Yoga ini adalah
konsentrasi pikiran (ekagra) yang
terpusatkan pada Samprajnata Yoga –
yaitu pemusatan pikiran dalam tapabrata, samadi khusuk, meditasi dimana objek
jiwa menjadi terang dan terpisah dari benda-benda duniawi, badan jasmani,
pikiran dan ego. Oleh aliran Yoga hal ini di bagi menjadi empat tingkat:
1) Savitaraka : Pikiran terkonsertasikan pada benda cukup
besar dan nyata, seperti sebuah patung pemujaan
2) Savicara : Pikiran terpusatkan pada objek yang halus disebut tanmatra, seperti warna, bunyi, suara, bau, rasa
sentuhan pada angina atau udara.
3) Sananda : Pikiran terpusatkan pada unsur - unsur yang lebih halus lagi, seperti pancaindra penglihatan, pendengaran, penciuman, pencicipan, penyentuhan yang terletak di mata, kuping, hidung, lidah dan kulit.
Filsafat yoga adalah sumbangsih yang tak
ternilai mutunya dari pilosopi Patanjali ini bagi mereka yang merindukan adanya
jiwa sebagai suatu identitas substansi yang mandiri, terbebas dari batas-batas
kehadiran badan jasmani, panca indra dan pikiran. Dalam pelaksanaan yoga tidak
semua orang bisa melakukannya dengan benar ada beberapa klesa yang masih
membelenggu pikiran mereka antara lain :
1) Avidya yaitu ketidaktahuan (pengetahuan yang salah)
tentang jiwa dan yang bukan jiwa (akibat dari rasa senang atau tidak
senang, suci atau tidak suci, cinta atau benci dan sebagainya)
2) Asmita yaitu egoisme, dimana jiwa dikira pikiran
atau intelek atau panca indra.
3) Raga yaitu keinginan atau kesenangan dan
kenikmatan, kebahagiaan dan kemewahan dengan alat pancaindra untuk
mencapainya.
4) Dvesa yaitu penolakan, antipati, arogansi, sikap
menentang dan sebagainya.
5) Abhinivesa yaitu rasa takut akan kematian secara naluri
di luar kesadaran.
Selain klesa-klesa di atas ada juga beberapa penghambat dalam
terhentinya proses modifikasi jiwa dimana watak dan pikiran yang masih
dipengaruhi oleh sifat-sifat Triguna (Sattva,
rajas, tamas) seperti :
1) Mudha yaitu pikiran yang dibelenggu oleh sifat dan watak lesu, beku, dungu, negatif dan jahat.
2) Kshipta yaitu pikiran yang diseret oleh sifat dan watak cerdas dikuasai oleh objek benda-benda indah, bermutu dan mahal.
3) Vikshipta yaitu pikiran yang dikuasai oleh sifat dan watak gelisah, resah seakan-akan berhadapan dengan musuh yang mengancam.
Sekarang marilah kita bahas bagian keempat dari Catur Marga
Yoga yaitu Raja Marga Yoga. (Judul asli “RAJA YOGA”; diinterpretasikan dari
edisi website The Divine Life Society yang
telah diupdate pada hari Minggu 14 Juli 1996).
II. PEMBAHASAN
2. Pengertian Raja Yoga.
Raja Yoga Adalah Jalan yang membawa
kepenyatuan dengan Tuhan, melalui pengekangan diri dan pengendalian pikiran.
Raja Yoga mengajarkan bagaimana mengendalikan pikiran atau indriya-indriya dan wrtti mental atau gejolak pikiran yang
muncul dari pikiran, bagaimana mengembangkan kosentrasi dan bagaimana bergaul
dengan Tuhan. Dalam Hatha Yoga terdapat disiplin fisik, sedangkan dalam Raja
Yoga terdapat disiplin pikiran. Yang menjadi tujuan utama daripada raja yoga
ini adalah dengan mendiamkan diri sepenuhnya dan menuju kepada kesadran
pribadi. (Penjelasan dari Intisari Ajaran Hindu)
Yoga ini
menggunakan sarana pengendalian diri dan konsentrasi yang selanjutnya menuju
pada penguasaan pikiran untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Tokoh yang paling populer yang mengajarkan secara gamblang tentang ajaran Raja
Yoga ini adalah, Maharsi Patanjali dengan ajaran Yoga Sutra. Patanjali
mendefiniskan Yoga sebagai “Chitta-Writti-Nirodha”.
Yoga artinya “persatuan dengan yang
suci” atau “moksha”. Chitta
artinya “pikiran.” Writti artinya
penyederhanaan ” atau “getaran”. Nirodha
artinya “penghentian”, “penekanan”, atau “penahanan”. Jadi menurut Rsi
Patanjali, persatuan dengan yang suci atau moksha berarti penghentian dari
getaran-getaran, atau penyederhanaan pikiran.
Praktek
Raja Yoga mulai sejak zaman Weda. Bhagawad Gita mengagungkannya dan memujinya
mulai dengan pernyataan , “Raja Yoga, Raja Guhyan
(rahasia yang dijaga bagaikan raja), Pawitram
(yang amat disucikan), Uttamam (yang
paling baik), Pratyakshawagaman (yang cepat memberi hasil), Dharmyam Kartum (setia kepada Dharma)”.
Diperkirakan hidup dari tahun 240
sampai 180 S.M. Ada perdebatan antara para sarjana mengenai apakah ia
Patanjali yang sama dengan ahli bahasa yang menyusun komentar Mahabsya yang
besar terhadap komentar kritis (Warttika)
dari Katayana atas Tatabahasa Sansekerta dari Panini, atau tidak. Beberapa
orang mengatakan dia tidak lain adalah reinkarnasi dari raja naga Anathan
Dalam Raja
Yoga, seorang bhakta mencoba untuk mencapai satu keadaan di atas pikiran dan
dalam satu cara mencoba untuk mencapai keadaaan tanpa pikiran. Sangat sulit
untuk menjelaskan hal ini dalam kalimat sederhana. Seorang mahasiswa
parapsikologi mungkin mampu memahami aspek ilmiah dari Raja Yoga lebih baik
dari siapapun juga. Orang biasa yang keadarannya terbatas pada pikiran yang
lebih rendah dapat membayangkan hanya citra-citra nyata dari obyek-obyek, yang
berasal dari organ indriya.
Secara
singkat, bagi seorang Raja Yogi yang sempurna, berpikir adalah sebuah proses sukarela sepanjang waktu, tidak seperti kebanyakan dari kita yang
memikirkan begitu banyak hal secara tidak sukarela. Kita berpikir
tentang baik buruk pro kontra dari setiap masalah, bahkan bila kita tidak ingin
memikirkan mengenai masalah itu sama sekali. Sebagai contoh, bila kita
memutuskan untuk tidak memikirkan monyet-monyet untuk sejam yang akan datang,
kita malah memikirkan monyet-monyet itu untuk sejam kemudian. Ini cara kerja
pikiran kita sepanjang waktu.(Yoga Sutra Patanjali)
2.1 Evolusi
Kosmis dan Tujuan.
Walaupun
dipisahkan oleh kelahiran (jati),
tempat (desa), maupun waktu (kala),
yang berkaitan dengan ingatan (smrti),
kesan-kesan (samskara) serta
kebiasaan-kebiasaan tetap berlangsung, karena yang merangsangnya tetap ada,
namun itu tidak menjadi penyebab lagi (anadhitvam).
Hadirnya sebab, motif, struktur, dan tujuannya tetap mempersatukan mereka
(smrti, samskara serta kebiasaan-kebiasaan); hanya dengan tidak hadirnya semua
(sebab, motif, struktur, dan tujuan) itulah mereka tidak hadir pula. Masa
lampau dan masa depan (atita anagata)
eksis secara bergantian betapa adanya, mengikuti prinsip-prinsip kosmis yang
mengaturnya (dharmanah). Baik
berwujud kasar maupun halus, mereka hanyalah guna yang menyertai Atman (guna
atmanah). Sedangkan evolusi menuju panunggalan merupakan realitas dari
keberadaan Sang Yogi kini (vastu tattvam).
(YS IV.9 - IV.14)
Sebagai
penjelasan atas paparan sutra-sutra sebelumnya, kini Patanjali memaparkan
prinsip hukum semesta berkaitan dengan sebab-akibat yang saling bergantungan
dari semua keberadaan, disamping kesinambungan proses evolusi yang dialami oleh
seorang Yogi yang belum berhasil menuntaskan evolusinya.
Sepanjang masih ada yang memotivasi kemunculan suatu sebab, maka selama itu pula akibat akan tetap menyertainya. Segala macam bentuk kelahiran, berapa lama, kapan serta dimana kelahiran itu terjadi, apakah dalam wujud kasar dengan panca mahabhuta maupun halus hanya menggunakan kelima atau beberapa tan matra saja, akan selalu terjadi. Semua itu berpangkal pada adanya penyebab, motif, struktur atau susunannya, serta tujuan-tujuannya yang masih tersisa. Demikian pula pada waktu atau jaman apa kelahiran berikutnya akan terjadi, dan berapa lama harus dialami. Dalam pada itu, kelangsungan waktu berjalan sesuai hukumnya, masa depan menjadi masa kini, dan masa kini terlewati dan menjadi masa lalu. Prinsip kosmis yang mengatur segala keberadaan. Berdasarkan hukum kosmis itulah, bila seorang pendamba kebebasan, penyatuan, dalam kurun tertentu mengakhiri hidupnya pada satu alam kehidupan tertentu, kesan-kesan (samskara) serta ingatan-ingatannya akan dambaannya itu tetap terbawa sebagai benih-benih perbuatan bagi kelahiran berikutnya (kriyamana karma vasana) untuk diteruskannya. Kriyamana karma vasana inilah yang menjadi benih kelahiran demi kelahiran di berbagai alam kehidupan, kasar maupun halus. Ia menjadi sahabat setia dalam berbagai kelahiran. Beruntunglah mereka yang telah terjun ke dalam Yoga, para pendamba penyatuan dan kebebasan (mumukshu) dalam kelahirannya ini; pencapaian yang diraihnya dalam kehidupan ini membentuk vasana-nya dan akan terus membimbingnya dalam evolusi spiritual pada kelahiran-kelahiran berikutnya. Itulah sesungguhnya yang menjadi realitas keberadaannya; evolusi yang berkelanjutan hingga tercapainya tujuan akhir, menyatu dan melebur di dalamNya. Paradigma ini, juga ditegaskan oleh Sri Krishna dalam Bhagavad Gita. Tujuan tetap sama, hanya pengkondisinya yang berbeda. Tujuan (vastu) tetap sama, sementara kondisi yang menyertai citta-lah yang berbeda karena cara kerjanya berbeda. Vastu tidaklah tergantung pada satu kondisi tertentu dari citta saja, karena bila kondisi itu tak hadir, lantas apa yang akan terjadi padanya? Oleh terjadinya pencitraan terhadap citta yang disebabkan oleh pusaran-pusaran pikiran inilah vastu menjadi disadari atau tidak disadari (jnatajnatam). Pengetahuan yang ajeg merupakan modifikasi-modifikasi dari citta juga adanya, namun bagi Sang Yogi, itu terkendali sepenuhnya oleh kehadiran Hyang Purusa yang tiada berubah. (YS IV.15 - IV.18)
Sepanjang masih ada yang memotivasi kemunculan suatu sebab, maka selama itu pula akibat akan tetap menyertainya. Segala macam bentuk kelahiran, berapa lama, kapan serta dimana kelahiran itu terjadi, apakah dalam wujud kasar dengan panca mahabhuta maupun halus hanya menggunakan kelima atau beberapa tan matra saja, akan selalu terjadi. Semua itu berpangkal pada adanya penyebab, motif, struktur atau susunannya, serta tujuan-tujuannya yang masih tersisa. Demikian pula pada waktu atau jaman apa kelahiran berikutnya akan terjadi, dan berapa lama harus dialami. Dalam pada itu, kelangsungan waktu berjalan sesuai hukumnya, masa depan menjadi masa kini, dan masa kini terlewati dan menjadi masa lalu. Prinsip kosmis yang mengatur segala keberadaan. Berdasarkan hukum kosmis itulah, bila seorang pendamba kebebasan, penyatuan, dalam kurun tertentu mengakhiri hidupnya pada satu alam kehidupan tertentu, kesan-kesan (samskara) serta ingatan-ingatannya akan dambaannya itu tetap terbawa sebagai benih-benih perbuatan bagi kelahiran berikutnya (kriyamana karma vasana) untuk diteruskannya. Kriyamana karma vasana inilah yang menjadi benih kelahiran demi kelahiran di berbagai alam kehidupan, kasar maupun halus. Ia menjadi sahabat setia dalam berbagai kelahiran. Beruntunglah mereka yang telah terjun ke dalam Yoga, para pendamba penyatuan dan kebebasan (mumukshu) dalam kelahirannya ini; pencapaian yang diraihnya dalam kehidupan ini membentuk vasana-nya dan akan terus membimbingnya dalam evolusi spiritual pada kelahiran-kelahiran berikutnya. Itulah sesungguhnya yang menjadi realitas keberadaannya; evolusi yang berkelanjutan hingga tercapainya tujuan akhir, menyatu dan melebur di dalamNya. Paradigma ini, juga ditegaskan oleh Sri Krishna dalam Bhagavad Gita. Tujuan tetap sama, hanya pengkondisinya yang berbeda. Tujuan (vastu) tetap sama, sementara kondisi yang menyertai citta-lah yang berbeda karena cara kerjanya berbeda. Vastu tidaklah tergantung pada satu kondisi tertentu dari citta saja, karena bila kondisi itu tak hadir, lantas apa yang akan terjadi padanya? Oleh terjadinya pencitraan terhadap citta yang disebabkan oleh pusaran-pusaran pikiran inilah vastu menjadi disadari atau tidak disadari (jnatajnatam). Pengetahuan yang ajeg merupakan modifikasi-modifikasi dari citta juga adanya, namun bagi Sang Yogi, itu terkendali sepenuhnya oleh kehadiran Hyang Purusa yang tiada berubah. (YS IV.15 - IV.18)
Bagi yang telah
terjun menuju kebebasan, tujuan satu-satunya adalah kaivalyam. Mereka ini juga
disebut sebagai pelawan arus, yang dengan gagah berani terjun melawan arus
tumimbal lahir yang maha deras ini. Sekali tujuan ditetapkan dalam suatu
kelahiran, ia akan mengalir sebagai missi lanjutan dalam kelahiran-kelahiran
berikutnya. Mungkin saja citta dalam suatu kelahirannya atau dalam kondisi
tertentu, tampak berbeda akan tetapi citta sesungguhnya jernih, dan kembali
terjernihkan seperti sediakala. Pengalaman-pengalaman dari pendakian
spiritualnya di masa lalu, pasti muncul kembali sebagai vasana spiritual. Paradigma ini seringkali mengecoh banyak orang.
Jangankan orang awam, para peminat dan penekun-pun bisa terkecoh karenanya
padahal keterkecohan itu tak perlu terjadi bila Hukum Karma Phala dan Samsara
benar-benar dipahami. Yang bijak mengatakan bahwa, derajat kesucian batin
seseorang hanya dapat diketahui oleh mereka yang memiliki kesucian batin yang
sekurang-kurangnya setara dengannya. Pengalaman-pengalaman pada kehidupan
lampau yang tersublimasi berupa vasana
inilah yang mewarnai atau memberi citra artifisial kepada pandangan murni,
seperti juga halnya dengan pengalaman-pengalaman dalam kehidupan ini. Mereka
mengendap sebagai kesan-kesan mental dan ingatan dan membentuk
kebiasaan-kebiasaan. Nah, kumpulan mereka inilah yang terrefleksi di permukaan
berupa kepribadian berikut nasib seseorang dalam setiap kelahirannya.
2.2 Kondisi-kondisi
Bhatin Pada Raja Yoga.
Raja Yoga
memberikan perhatian khusus terutama pada batin, modifikasi-modifikasinya dan
pengendaliannya. Ada lima kondisi batin yakni, Kshipta, Mudha, Vikshipta, Ekagra (Ekagrata) dan Niruddha. Umumnya
pikiran yang adalah proponen batin yang paling aktif berlarian ke segala arah
sinar-sinarnya terpencar dan kacau. Inilah yang disebut dengan kondisi Kshipta.
Terkadang batin lupa diri, ia dipenuhi oleh kedunguan (Mudha). Ketika Anda berlatih berkonsentrasi, pikiran tampak dapat
terpusat sejenak, namun cepat terganggu lagi. Kondisi batin inilah yang
dinamakan Vikshipta. Akan tetapi bila
ia bertahan lebih lama dan telah dilatih secara berulang-ulang, dan dibantu
dengan merafalkan Nama Tuhan, ia menjadi terpusat pada satu titik. Keterpusatan
inilah yang disebut kondisi Ekagrata.
Nantinya, iapun sepenuhnya terkendali Niruddha.
Ia siap untuk tercerap dalam Parama Purusha, ketika Anda memasuki Asamprajñata
Samãdhi.
Guna mencapai kedamaian batin, Anda harus menyemaikan empat sifat-sifat luhur Maitri, Karuna, Mudita and Upeksha. Anda harus punya Maitri (rasa persahabatan yang penuh welas asih), Anda memandang semuanya dalam sikap batin yang setara. Anda harus memiliki sifat Karuna (rasa belas kasihan) kepada mereka yang sedang dirundung malang. Andapun mesti punya Mudita (rasa empati dan bersimpati) pada mereka yang lebih beruntung dari Anda. Rasa kebercukupan atau belas-kasihan secara pasti menghancurkan kedengkian. Semuanya adalah saudara-saudara kita. Bila seseorang ditempatkan pada posisi yang lebih baik dari Anda, berbahagialah atasnya. Bila sedang lewat di antara orang-orang hina, pandanglah mereka tiada beda dengan kita. Inilah yang dinamakan Upeksha (stabil dalam tiada membeda-bedakan). Dengan jalan ini Anda akan mencapai kedamaian hati.
Guna mencapai kedamaian batin, Anda harus menyemaikan empat sifat-sifat luhur Maitri, Karuna, Mudita and Upeksha. Anda harus punya Maitri (rasa persahabatan yang penuh welas asih), Anda memandang semuanya dalam sikap batin yang setara. Anda harus memiliki sifat Karuna (rasa belas kasihan) kepada mereka yang sedang dirundung malang. Andapun mesti punya Mudita (rasa empati dan bersimpati) pada mereka yang lebih beruntung dari Anda. Rasa kebercukupan atau belas-kasihan secara pasti menghancurkan kedengkian. Semuanya adalah saudara-saudara kita. Bila seseorang ditempatkan pada posisi yang lebih baik dari Anda, berbahagialah atasnya. Bila sedang lewat di antara orang-orang hina, pandanglah mereka tiada beda dengan kita. Inilah yang dinamakan Upeksha (stabil dalam tiada membeda-bedakan). Dengan jalan ini Anda akan mencapai kedamaian hati.
2.2.1 Noda- Noda
yang Terdapat di dalam Bhatin.
Lima Noda
batin yang merupakan sumber penderitaan adalah :
1) Avidya yaitu kebodohan batiniah:
memandang kekal yang tidak kekal, murni
yang tak murni.
2) Asmita yaitu sifat egoism.
3) Raga yaitu keterikatan atau kecintaan.
4) Dvesha yaitu keengganan, penolakan atau
kebenciaan, dan
5) Abhinivesha yaitu keterikatan yang kuat
pada kehidupan rendah, yang menimbulkan
ketakutan yang amat sangat pada kematian.
Samadhi menghancurkan semua ini. Raga dan Dvesha, rasa suka dan tak suka, punya lima kondisi yaitu : Udara (termanifestasikan sepenuhnya), Vicchinna (tersembunyi atau terselubung), Tanu (menipis), Prasupta (tidak aktif ) dan Dagdha (terbakar musnah).
Samadhi menghancurkan semua ini. Raga dan Dvesha, rasa suka dan tak suka, punya lima kondisi yaitu : Udara (termanifestasikan sepenuhnya), Vicchinna (tersembunyi atau terselubung), Tanu (menipis), Prasupta (tidak aktif ) dan Dagdha (terbakar musnah).
Pada
manusia duniawi yang masih terlelap dalam keduniawian, Raga dan Dvesha merupakan
Udana Avastha. Mereka ada dalam kondisi yang meluas; maksudnya, Raga dan
Dvesha bermain secara penuh dan tanpa tendeng aling-aling lagi. Vicchinna Avastha adalah kondisi dimana
Raga dan Dvesha tersembunyi. Pasangan suami-istri terkadang bertengkar saat itu cinta tersembunyi sejenak. Setelah si
istri tersenyum kembali, cintapun menampakkan dirinya lagi. Inilah contoh dari Vicchinna Avastha. Beberapa orang
yang melakukan sedikit Pranayama, Kirtan dan Japa. Pada mereka Raga dan Dvesha mulai menipis; kondisi inilah yang
dinamakan Tanu Avastha. Terkadang
pula, berhubung kondisinya tidak sesuai, mereka dalam kondisi tidak aktif (Prasupta Avastha). Namun dalam Samãdhi
mereka terbakar musnah (Dagdha).
Raga dan Dvesha memastikan Samsara ini.
Raga dan Dvesha memastikan Samsara ini.
Pikiran (manas) adalah suatu kekuatan yang tidak
memiliki suatu entitas nyata, namun sementara waktu seolah-olah demikian, dan
menyelubungi Jiwa. Ia mengatasi Prana. Ia juga mengatasi materi. Akan tetapi di
atas pikiran ada kemampuan memilih dan memilah-milah (Viveka). Viveka dapat
mengendalikan pikiran kerinduan terhadap Diri-Jati Anda atau Atma Vichara dapat mengendalikan
pikiran. Bilamana Anda telah menghancurkan Raga
Dvesha lewat meditasi dan Samadhi, pikiran akan sirna (tiada berdaya lagi).
Yang mesti Anda upayakan setiap hari adalah melatih konsentrasi ke dalam (dharana), walau hanya lima atau sepuluh
menit Andapun akan mampu mengendalikan pikiran dan memasuki alam Samadhi.
2.2.2 Yang
Menghalangi Pencerahan Sempurna
Buddhi tidak bersinar sendiri, sebab ia
berasal dari apa yang dicerap (drsyatvat)
dan pada saat yang bersamaan dua hal tak dapat dicerap sekaligus.
Kesadaran hanya bertindak sebagai perantara dari ingatan dan kesan-kesan yang dicerap oleh buddhi dan mengacaukannya; ini merupakan kemunduran. (YS IV.19 dan IV.21)
Kesadaran hanya bertindak sebagai perantara dari ingatan dan kesan-kesan yang dicerap oleh buddhi dan mengacaukannya; ini merupakan kemunduran. (YS IV.19 dan IV.21)
Dalam
kejernihan, dalam hening, yang bekerja hanya kesadaran dan pencerapan atau
persepsi murni. Pencerapan murni sebetulnya juga buddhi adanya. Namun disini ia
ada dalam keadaan pasif. Ia tidak pilih-pilih dan tidak melakukan kerja
menilai, bahkan tidak melakukan pencerapan secara khusus. Ia lebih terfungsikan
sekedar sebagai pemerhati. Seperti telah disampaikan sebelumnya, smrti, vasana-vasana dan samskara-samaskara-lah
yang memberi pewarnaan terhadap apa yang dicerap. Mereka hanyalah hasil cerapan
dari buddhi. Buddhi-lah yang mencerap dan mengalami pewarnaan itu; bukan citta.
Bilamana pewarnaan ini terjadi, maka ini merupakan kemunduran bagi sang
penekun. Berikut ditegaskan kembali bahwa (Sesungguhnya) citta tidak dipengaruhi oleh samskara yang berubah-ubah adalah buddhi, oleh karena buddhi mengadakan identifikasi menurut intuisinya. Ia yang
menyadari, paham kalau semua itu hanyalah pemahaman yang telah mengalami
pewarnaan. Walaupun diperlengkapi dengan tak-terhitung banyaknya keinginan yang
disebabkan oleh kombinasi dari vasana-vasana,
namun semua itu dipahami hanya sebagai pewarnaan atau pencitraan saja. (YS IV.22 - IV.24)
Bila suatu
benda berwarna didekatkan pada sebuah kristal asli yang jernih, maka warna dari
benda tersebut tampak mewarnai kristal itu. Bila benda berwarna merah yang
mendekatinya, maka merahlah tampaknya kristal itu walaupun sesungguhnya,
kristal tersebut tidak berwarna. Daya serapnya yang besar terhadap cahayalah yang
menyebabkan ia seolah-olah berwarna. Secara analogis, dapat dikatakan bahwa
daya serap itu merupakan perangkat kerja dari buddhi, dan kristal itu adalah citta.
Menyadari kalau demikian kejadiannya, para bijak berulang-ulang mengajurkan
para penekun untuk bergabung dan mendekatkan diri dengan para bijak dalam
satsanga, guyub dengan para suciwan, dan menjauhi paguyuban tak senonoh. Dengan
demikian, apa yang tercerap akan terseleksi, sehingga bersifat mengingatkan dan
mengarahkan pada penjernihan kembali citta dan menguatkan viveka. Viveka senantiasa
menyertai Sang Yogi.
Bagi
yang telah sempurna visi spiritualnya (visesa
darsina atma), Atmannya sepenuhnya terlepas dari gelora perasaan dan
gejolak pikiran.
Sejak inilah viveka menjadi sentosa, dan kesadaran menggapai Kaivalya.
Walaupun masih terjadi selingan berupa kemunculan pemikiran-pemikiran lain, sebagai konsekwensi dari kecenderungan-kecenderungan sebelumnya (samskarabhyah) hingga interval tertentu, pemusnahannya tak sulit lagi sama halnya dengan pemusnahan klesa (yang sudah dipaparkan sebelumnya).
(YS IV.25 - IV.28)
Sejak inilah viveka menjadi sentosa, dan kesadaran menggapai Kaivalya.
Walaupun masih terjadi selingan berupa kemunculan pemikiran-pemikiran lain, sebagai konsekwensi dari kecenderungan-kecenderungan sebelumnya (samskarabhyah) hingga interval tertentu, pemusnahannya tak sulit lagi sama halnya dengan pemusnahan klesa (yang sudah dipaparkan sebelumnya).
(YS IV.25 - IV.28)
Yoga memang
merupakan pengembangan dari Sankhya. Dalam Sankhya belum menyebut-nyebut Isvara maupun Atman, dan hanya menyebut
Purusa. Demikian pula halnya dengan citta,
Sankhya menyebutnya mahat yang secara esensial dapat dipadankan dengan citta. Baik mahat maupun citta bukanlah produk, namun lebih
merupakan gagasan-awal yang melatari diproduksinya berbagai produk. Persis di
bawah citta ada buddhi intelek, daya cerap, setelah itu barulah asmita dan manas
menyusul. Buddhi, asmita dan manas
barulah merupakan produk, dan berada dalam hierarki yang lebih rendah dibanding
citta.
Dalam Wrhaspati Tattwa dan Tattwa Jnana ditemukan istilah ambek yang dalam penggunaannya dapat diartikan sebagai hasrat yang kuat yang diserta semangat yang muncul sebagai akibat dari munculnya bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan akibat terjadinya interaksi dan adanya kontak-kontak indriawi maupun ingatan. Ia merupakan jelmaan langsung dari manas. Daripadanyalah muncul berbagai bentuk keinginan yang begitu banyak jumlah dan ragamnya. Beliau yang telah jernih, yang telah bersinar kembali cittanya, vivekanya pun jadi semakin sempurna. Oleh karenanyalah seperti yang disebutkan dalam sutra tadi manas dan ambek tak lagi mempengaruhi beliau. Pemusnahan samskarabhyah disebutkan sama dengan pemusnahan klesa. Pada prinsipnya ia adalah pemusnahan ego, asmita atau ahamkara itu sendiri. Egolah sumber dari klesa yang lainnya. Ego menjadikan segala sesuatunya terpusat pada si diri semu ini. Disinilah semua itu bermukim dan berpotensi mengotori. Asmita terutama didominasi oleh rajas dan tamas. Sesuai kejadiannya, asmita masih terhitung adik kandung dari buddhi walaupun ia amat kuat, sesungguhnya buddhi yang terlengkapi viveka mampu menundukkannya. Namun, bagi seorang Yogi yang telah bersinar kembali cittanya, kabut klesa sirna secara pasti, tak ubahnya kabut pagi yang sirna bersamaan dengan terbitnya sang mentari.
Dalam Wrhaspati Tattwa dan Tattwa Jnana ditemukan istilah ambek yang dalam penggunaannya dapat diartikan sebagai hasrat yang kuat yang diserta semangat yang muncul sebagai akibat dari munculnya bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan akibat terjadinya interaksi dan adanya kontak-kontak indriawi maupun ingatan. Ia merupakan jelmaan langsung dari manas. Daripadanyalah muncul berbagai bentuk keinginan yang begitu banyak jumlah dan ragamnya. Beliau yang telah jernih, yang telah bersinar kembali cittanya, vivekanya pun jadi semakin sempurna. Oleh karenanyalah seperti yang disebutkan dalam sutra tadi manas dan ambek tak lagi mempengaruhi beliau. Pemusnahan samskarabhyah disebutkan sama dengan pemusnahan klesa. Pada prinsipnya ia adalah pemusnahan ego, asmita atau ahamkara itu sendiri. Egolah sumber dari klesa yang lainnya. Ego menjadikan segala sesuatunya terpusat pada si diri semu ini. Disinilah semua itu bermukim dan berpotensi mengotori. Asmita terutama didominasi oleh rajas dan tamas. Sesuai kejadiannya, asmita masih terhitung adik kandung dari buddhi walaupun ia amat kuat, sesungguhnya buddhi yang terlengkapi viveka mampu menundukkannya. Namun, bagi seorang Yogi yang telah bersinar kembali cittanya, kabut klesa sirna secara pasti, tak ubahnya kabut pagi yang sirna bersamaan dengan terbitnya sang mentari.
2.4 Jalan Kesucian sekaligus Jalan Kelepasan.
Setelah
mengikuti dengan seksama paparan Patanjali, kita seakan dihadapkan pada ketidakmungkinan
untuk menggolongkannya ke dalam satu jalan spiritual saja. Yama dan Niyama saja
misalnya, merupakan landasan disiplin moral bagi penekun jalan spiritual
manapun. Bahkan mereka tidak terbatas pada agama, ras, bangsa dan suku bangsa,
jenis kelamin, usia maupun profesi. Mereka tak hanya dibutuhkan manusia di
jaman Veda saja. Mereka dibutuhkan oleh umat manusia di segala jaman dan dalam
segala situasi dan kondisi.
Yama dan
Niyama bersifat universal, mereka jelas bukan hanya milik bangsa India ataupun
umat Hindu saja. Mereka merupakan tatanan moral etik luhur bagi umat manusia,
yang sarat nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan holistik. Ini
dimungkinkan oleh karena para bijak dan orang-orang suci jaman dahulu
merancangnya lewat pengetahuan intuitif beliau yang sempurna terhadap kondisi
variatif dari setiap manusia dalam sifat-sifat fisikal, mental maupun
spiritualnya. Mereka bukan juga sebentuk spekulasi filosofis atau sekedar
ajaran moral etik yang tidak implementatif samasekali, dogmatik, tak masuk akal
atau bersifat takhyul.
Bhakti dan
Karma Marga terkandung secara nyata dalam paparan awal Sadhana Pada, dalam
sebutan Kriya Yoga. Disana ada pola hidup sederhana dan pengekangan diri dari
rongrongan hawa nafsu dan berbagai keinginan melalui laku tapa, sebagai terapan
untuk mensucikan diri lahir batin. Ada pula Isvarapranidhana,
penyerahan dan perlindungan hanya kepada Tuhan. Di dalamnya ada rasa sujud,
penyerahan diri dan bhakti, ada pelayanan yang tanpa pamerih (nishkama karma). Disana juga ada
pembelajaran-diri secara mandiri (svadhyaya),
yang menjauhkan kita dari sikap dogmatis dan fanatisme.Viveka dan vairagya serta petunjuk-petunjuk dalam memupuk jñana dan
prajña memberi suatu ciri Jnana Marga yang kuat pada Yoga Sutra. Bahkan, Yoga
Sutra memaparkan tri pramana, tiga metode penalaran dalam memperoleh vidya, bahkan mencapai jnana. Baik viveka maupun vairagya disebut-sebut secara berulang dalam banyak sutra-sutranya.
Menjelang mengakhiri Yoga Sutra, kembali Patanjali menegaskan: “Lalu, semua
kekotoran batin sirna, oleh karena bagi pengetahuan suci yang tiada terbatas,
semesta material hanya kecil saja, tiada arti.” Ini menyiratkan dengan jelas
betapa Patanjali memberi arahan langsung pada penguasaan jnana. (YS dan
Kundalini).
Belakangan,
ternyata Maharshi Vyasa pun memberi dukungan kuat terhadap arahan ini. Lewat
Bhagavad Gitanya dengan gamblang Sri Krishna memaparkan:
“Diantara
mereka (yang memuja-Ku), jnani selalu memusatkan pikirannya dan berbakti pada
Yang Tunggal, adalah yang termulia, dia sangat Ku kasihi karena diapun amat
mengasihi-Ku. Memang mereka semua mulia, akan tetapi jnani 'Ku pegang sebagai
Diri-Ku Sendiri, sebab jiwanya seimbang sempurna dan tujuan tertingginya
hanyalah Aku. Pada banyak akhir dari kelahiran manusia, jnanavan datang pada-Ku karena tahu Vasudeva adalah segalanya.
Sungguh sukar dijumpai mahatma serupa ini.”
Seorang jnani
akan dengan gigih memberdayakan manas guna merebut vidya. Karena beliau menyadari betul betapa “sa vidya ya vimuktaye” pengetahuan bisa mengantarkan pada vimukti, kebebasan seperti yang juga
disebutkan oleh Yajurveda. Sementara beliaupun mengingatkan bahwasanya “vidya vuhina pasu” tanpa menguasai vidya manusia tak ubahnya binatang
seperti yang disebutkan oleh penyair Bhartrihari dalam Nitisatakam-nya, yang kesohor itu. Pertanyaannya kini adalah,
bagaimana memberdayakan manas untuk merebut vidya.
Untuk ini, Sri Sankaracharya memberi petunjuk, yakni dengan mempelajari Catur
Veda, Sad Darsana, Upanishad-upanishad, Bhagavad Gita dan Brahmasutra. Berapa
lama waktu yang dibutuhkan untuk itu? Untuk mempelajari hingga betul-betul
menguasainya, boleh jadi dibutuhkan banyak kelahiran, seperti yang pernah
dialami oleh Rshi Bharadvaja. Dikisahkan bahwa, selama tiga kelahiran berturut-turut
beliau mempelajari semua itu. Nah, disinilah Yoga dengan jelas memposisikan
dirinya sebagai solusi alternatif. Yoga mengantarkan langsung pada Panunggalan
dengan Tuhan. (sumber dari Veda-veda).
Yoga Marga atau
lebih umum dikenal sebagai Raja Yoga juga dikenal sebagai jalan spiritual mistis.
Ini mungkin terlahir dari kenyataan, dimana Patanjali memberi porsi yang cukup
besar pada upaya mistis dalam Vibhuti Pada,
yang dengan panjang lebar memaparkan perolehan kekuatan-kekuatan spiritual mistis
(siddhi-siddhi) lewat samyama
terhadap objek-objek eksternal maupun internal tertentu. Sementara itu, di
banyak bagiannya, Patanjali juga wanti-wanti mengingatkan bahwa bukan itu tujuan
Yoga mereka hanya efek samping, yang bahkan dapat mengakibatkan kejatuhan bagi
Sang Yogi. Sementara itu, Pranava Japa,
basis dari Japa Yoga, disinggung dalam lebih dari satu sutra.
Makanya,
akan terlampau menyempitkan, bilamana Yoga Sutra hanya dipandang sebagai
salah-satu marga saja. Jauh lebih mengena bilamana memandangnya sebagai suatu
pustaka suci lengkap tentang Yoga yang memaparkan secara mendasar pokok-pokok
ajaran dan manual dalam delapan tahapan praktis bagi berbagai kecenderungan manusia.
Walaupun sejak awal Patanjali dengan tegas merumuskan Yoga sebagai ‘citta vritti nirodha’, tak urung
sementara penekun cenderung terjebak dalam pencapaian siddhi-siddhi dan jatuh dari tujuan luhurnya. Apa yang kita
saksikan disini adalah kelemahan umum kita, disamping menegaskan kembali kekuatan
Prakriti lewat trigunanya. Mungkin karena menyadarinya kelemahan-kelemahan umum
manusia, pada bagian akhir Vibhuti Pada
Patanjali menyampaikan pengingatannya: “Manakala antara sattvam dan Purusa telah sama-sama sucinya, inilah Kaivalyam”. Dalam Samãdhi Pãda
sebelumnyapun beliau sudah mengingatkan: “Setelah terpenuhi segala manfaatnya,
evolusi dari transformasi triguna-pun terhenti. Tujuan akhir Purusa tercapai
bersamaan dengan sirnanya guna guna kembali ke alamnya (Prakriti)”.
Pada akhir Kaivalya
Pada, penulis dengan lancang mencoba
memberi kesimpulan bahwasanya Yoga seperti yang diajarkan dalam Yoga Sutra tiada
lain adalah Jalan Kesucian (Visuddhi
Marga) menuju pada Kelepasan Sempurna terbebas dari siklus Samsara. Bagaimana
kesimpulan itu ditarik? Bagaimana argumentasinya sehingga disebut demikian?
Inilah yang kita coba simak secara ringkas berikut ini. Ada beberapa konsepsi
mendasar yang menggiring kita pada penyimpulan seperti itu. Yang pokok untuk
ditinjau disini adalah adalah :
1) Essensi dari Asana,
Pranayama dan Pratyahara.
2) Essensi dari Yama, Niyama, khususnya Sauca dan Tapa.
3) Citta vritti
nirodha.
Sebagai
jalan spiritual praktis, ia tidak saja memaparkan konsepsinya saja, namun wajib
memberi tuntunan penerapannya secara praktis berupa sadhana-sadhana lahiriah
dan batiniah yang mungkin untuk dilakoni. Asana dan Pranayama, memberi tuntunan
praktis berupa sadhana-sadhana lahiriah, guna membentuk ketahanan tubuh,
menjaga kondisi kesehatan, memberdayakan dan mengendalikan daya vital atau
prana. Dalam ketahanan itulah dapat diharapkan terbangunnya ketahanan
mental-spiritual serta sikap mental yang tangguh yang dibutuhkan di dalam
menjalaninya. Sementara Yama dan Niyama merupakan disiplin moral etik yang
membentuk sikap batin luhur, kedewataan. Pratyahara, disamping sebagai
konservasi daya vital, dengan meniadakan pemborosan prana melalui kontak-kontak
indria dengan objek-objeknya, juga memperkokoh vrata dan memungkinkan lahirnya pemahaman yang lebih baik, lengkap
dan menyeluruh tentang si diri itu sendiri. Ini berarti tersimpannya cukup
enerji-fiskal dan enerji mental guna mempertahankan dan memperkokoh
sikap-mental dalam berkehidupan suci.
Oleh karenanya
pula, bagi seorang penekun sejati, dianjurkan untuk menjadikan Pratyahara sebagai
terminal. Nah inilah yang secara lahir batin menjadikan manusia siap untuk
mententramkan batinnya sendiri. Manas yang
tentram, akan mudah dijinakkan untuk kemudian dikendalikan. Daripadanya, Buddhipun
jernih dan bersinar terang guna diarahkan menuju tataran mental-spiritual yang
lebih dalam lagi, hingga akhirnya Citta
termurnikan kembali. Inilah titik kulminasi dari proses pensucian itu citta vritti nirodhah. Sekali lagi, besar
harapan saya apa yang mampu dipersembahkan lewat buku ini ada manfaatnya bagi
Anda. Semoga kita semua selalu ada dalam bimbingan dan limpahan anugrahNya. Semoga
Cahaya AgungNya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita.(Yoga Sutra
Patanjali)
2.5 Pengembangan Kemampuan Intuitif dan Bahaya Siddhi-siddhi.
Antara Sattva dan Purusa benar-benar sulit dibedakan sementara itu segenap pengalaman
dikualifikasikan dalam kerancuan pemahaman seperti itu
melalui Samyama pada manfaat Purusa diperoleh pengetahuan tentang Purusa, sehingga dapat dipilah dengan yang bukan Purusa. Darisana pula pendengaran, penglihatan, sentuhan, kecapan dan penciuman intuitif dilahirkan. (YS III.36 dan III.37). Tak banyak yang perlu dikomentari dari kedua sutra ini, kecuali pengembangan intuisi lewat Samyama dan penegasan lagi bahwasanya guna sattvam bisa sangat mengelirukan dengan Purusa. Purusa jernih, transparan, netral, tak terjangkau oleh nalar atau kecerdasan (buddhi) manusiawi yang tanpa sifat; sedangkan sattva adalah salah-satu sifat atau kekuatan luhur dari Prakriti. Sattva ditandai dengan pertimbangan-pertimbangan yang mengarah pada kebajikan, moralitas dan pengetahuan suci. Dialah yang mewarnai citta, dan citta yang terwarnai olehnya disebut buddhi.
melalui Samyama pada manfaat Purusa diperoleh pengetahuan tentang Purusa, sehingga dapat dipilah dengan yang bukan Purusa. Darisana pula pendengaran, penglihatan, sentuhan, kecapan dan penciuman intuitif dilahirkan. (YS III.36 dan III.37). Tak banyak yang perlu dikomentari dari kedua sutra ini, kecuali pengembangan intuisi lewat Samyama dan penegasan lagi bahwasanya guna sattvam bisa sangat mengelirukan dengan Purusa. Purusa jernih, transparan, netral, tak terjangkau oleh nalar atau kecerdasan (buddhi) manusiawi yang tanpa sifat; sedangkan sattva adalah salah-satu sifat atau kekuatan luhur dari Prakriti. Sattva ditandai dengan pertimbangan-pertimbangan yang mengarah pada kebajikan, moralitas dan pengetahuan suci. Dialah yang mewarnai citta, dan citta yang terwarnai olehnya disebut buddhi.
Dalam Samadhi Pada, ini telah disinggung. Ia
merupakan ajaran Sankhya yang juga diadopsi oleh Yoga. Memang, pengetahuan
tentang itu hanya lewat mempelajari dari buku-buku kemudian menghafalkannya,
bukanlah Yoga. Yoga mengantarkan pada penyelaman jauh lebih dalam. Ia mengantarkan
pada pengalaman langsung sehingga Sang Yogi memahami dengan merasakannya secara
langsung. Siddhi-siddhi, betapapun
pentingnya itu dipandang dari sudut duniawi, merupakan penghalang-penghalang
tercapainya Samadhi. Dengan
melepaskan penyebab dari keterikatan (bandha
karana) dan melalui pengetahuan tentang penetrasi, citta bisa memasuki
tubuh lain. (YS III.38 - III.39)
Seperti
juga telah diingatkan oleh Sri Swami Sivananda pada awal bagian ini, sutra
III.38 ini menegaskan lagi bahaya dari siddhi-siddhi
ini. Sutra III.5, sebelumnya telah sejak dini mengingatkan tentang kemana
Samyama hendaknya diarahkan. Bagi siddhi-siddhi
ini Swami Satya Prakas Saraswati malah memberi penegasan kalau semua
hasil-hasil gaib itu tidak ada hubungan apapun dengan Yoga. Seorang Yogi tidak
mencari siddhi, kesaktian atau berbagai kekuatan gaib lainnya. Siddhi malah
merupakan godaan dan seorang Yogi harus amat waspada agar jangan sampai
tergoda. Ini akan menyeret dan menggelincirkannnya ke bawah, sehingga lenyaplah
segala apa yang telah dicapainya. Kemampuan-kemampuan Eksternal Dan Internal
yang diperoleh dari Samyama. Dengan menguasai Udana, air, lumpur, duri, dan
yang lainnya tidak dapat menyentuh kematianpun teratasi. Dengan menguasai
Samana, kerja api pencernaan diketahui.
(YS III.40 dan III.41)
(YS III.40 dan III.41)
Apa yang
dipaparkan dalam dua sutra ini merupakan pencapaian eksternal dapat dikatakan
tidak terkait langsung dengan pencapaian tujuan akhir. Dengan tersingkirkannya
abhinivesa, sirnalah ketakutan akan kematian. Jadi, bagi Sang Yogi itu tak
perlu diatasi lagi. Dengan berusaha mengatasinya, malah mencerminkan bahwa Sang
Yogi belum berhasil menghancurkan abhinivesa-nya. Sesungguhnya Sang Yogi tak
takut mati, disamping beliau telah mengetahui ke alam apa beliau terlahirkan,
atau bahkan tidak terlahirkan kembali di alam manapun sesudah ini. Jangankan
beliau sendiri, orang lain atau makhluk lainpun dapat beliau ketahui asal dan
tujuan kelahirannya. Mungkin paparan ini dimaksudkan Patanjali sebagai
peringatan saja artinya bila itu dicapai, berarti Samyama yang dilakukan sudah
baik dan benar langkah-langkahnya. Jadi sejenis rambu-rambu saja dalam
perjalanan sadhana. Prana, Apana, Samana,
Vyana dan Udana adalah lima daya vital
utama yang disebut juga Panca Prana,
seperti yang pernah disinggung sebelumnya. Dengan samyama pada telinga-angkasa
(srotra akasa), datang pendengaran
dewata atau pendengaran bijak (divyasrotra).
Samyama pada hubungan antara tubuh-angkasa (kaya akasa), datang keringanan bagai kapas dan kemampuan menjelajahi angkasa. Samyama pada kesadaran yang di luar jangkauan kecerdasan, mahavideha dicapai dengan begitu tabir penutup sinar kesadaranpun hancur. (YS III.42 dan III.44)
Samyama pada hubungan antara tubuh-angkasa (kaya akasa), datang keringanan bagai kapas dan kemampuan menjelajahi angkasa. Samyama pada kesadaran yang di luar jangkauan kecerdasan, mahavideha dicapai dengan begitu tabir penutup sinar kesadaranpun hancur. (YS III.42 dan III.44)
Ada dua
pencapaian bersifat internal yang menarik disampaikan disini; masing-masing
adalah divyasrotra dan mahavideha. Divyasrotra adalah pendengaran dewata. Kemampuan ini memungkinkan
Sang Yogi untuk mendengar dan mengerti bahasa segenap makhluk hidup. Beliau
juga mengerti bahasa yang digunakan oleh para dewa dan Tuhan sendiri di dalam
memberikan petunjuk, bimbingan dan pengajaran. Yogi dengan kemampuan seperti
inilah yang mampu menerima wahyu ilahi. Mahavideha
adalah kemampuan tingkat tinggi dimana Sang Yogi telah sepenuhnya mengatasi
badan fisikal, daya vital dan mental. Mereka telah sepenuhnya takluk dan ada
dalam kekuasaan Sang Mahavideha, yang adalah sosok kesadaran ilahi. Disebutkan
juga bahwa triguna kekuatan yang ada pada dan menguasai setiap wujud telah
kehilangan daya cengkeramnya bagi beliau. Beliau bisa dengan mudah
berganti-ganti mengenakan wujud, berganti dari wujud yang satu ke wujud yang
lainnya. Alam wujud telah beliau tundukkan karena kini beliaulah
pengejawantahan dari Hyang Purusa itu sendiri. Bagi beliau tak ada sesuatupun
yang tidak diketahui. Melalui Samyama pada materi kasar (sthula), bentuknya, kehalusannya, kandungannya dan manfaatnya,
dunia material teratasi (bhuta jaya).
Kemudian daripadanya tercapai anima dan yang lainnya (mahima, laghima dsb.),
kesempurnaan tubuh dan kesempurnaan ketahanannya yang bersifat prinsipil. Wajah
yang indah, keanggunan, kekuatan, dan kekerasan bak guntur merupakan
kesempurnaan tubuh.(YS III.45 - III.47)
Pencapaian-pencapaian
eksternal seperti yang banyak dipaparkan dalam Pada ini, hendaklah dimaknai sebagai yang memberi
kemudahan-kemudahan bagi seorang Yogi di dalam mencapai tujuan akhir.
Halangan-halangan atau hambatan-hambatan yang bersifat jasmaniah atau keduniaan
mungkin saja dialami oleh sang Yogi dalam pendakian spiritualnya karena karmavasana dari kehidupan lampaunya
yang tak dapat ditolak. Disinilah kemudahan-kemudahan ini akan bermanfaat
sebesar-besarnya demi kesempurnaan jnana,
viveka dan prajna dari Sang Yogi.
2.6 Tercapainya
Cita-cita Sang Yogi
Yang
diharapkan dari Pemanfaatan Samyama yang benar.
Melalui Samyama terhadap kejadian-kejadian dan kelangsungannya, dicapai viveka. Darisini muncul ketajaman visi terhadap lebih dari satu hal atau kejadian yang serupa, yang tidak dapat dibedakan menurut kelas, karakteristik, atau posisinya. Pemahaman secara simultan terhadap semua objek berikut setiap aspeknya adalah viveka-jnana. (YS III.53 - III.55)
Melalui Samyama terhadap kejadian-kejadian dan kelangsungannya, dicapai viveka. Darisini muncul ketajaman visi terhadap lebih dari satu hal atau kejadian yang serupa, yang tidak dapat dibedakan menurut kelas, karakteristik, atau posisinya. Pemahaman secara simultan terhadap semua objek berikut setiap aspeknya adalah viveka-jnana. (YS III.53 - III.55)
Viveka-jnana merupakan pencapaian
internal, sebagai kulminasi pendakian spiritual seorang sadhaka. Disini tampak
bahwa yoga mengarahkan para sadhaka pada Jnana Yoga atau menjadi seorang jnani
sempurna. Dalam berguru spiritual di jaman dahulu, konon yang mula pertama
diminta adalah penguasaan viveka dan vairagya, demikian Swami Krishnananda
pernah mengutarakan. Terkait dengan itu ada
baiknya kita simak paparan pengalaman
J. Krishnamurti, dalam masa persiapannya sebelum memasuki
tingkat diksha (inisiasi). Dalam sebuah kitab kecil, yang ketika itu ditulisnya
di bawah bimbingan Annie Besant, yang diberi judul (dalam bahasa Indonesia)
"Dikaki Guru Sejati", diungkap:
“Mereka yang berdiri disamping-Nya, tahu apa sebabnya mereka
ada disini, dan apa yang seharusnya mereka perbuat, merekapun berusaha
melakukannya. Orang-orang lain, belum tahu apa yang harus mereka kerjakan, dan
oleh karena itu mereka sering berbuat bodoh. Mereka mencoba menemukan jalan
untuk diri sendiri, yang menurut pikiran mereka akan memberi kesenangan pada
mereka, tanpa mengerti, bahwa semuanya adalah Satu dan dengan hanya menuruti
kehendak Yang Satu itulah sebenarnya kebahagiaan teranugrahi kepada siapapun
juga. Semestinya mereka mengikuti yang sejati, akan tetapi mereka malah
mengikuti yang tidak-sejati. Sebelum mereka dapat belajar membedakan yang dua
itu, belumlah mereka menempatkan dirinya di sisi Tuhan. Jadi, penguasaan viveka adalah langkah yang pertama”.
Seperti
yang dipaparkan dalam sutra III.55, Samyama hendaknya diarahkan pada
penyempurnaan viveka-jnana, ia jelas
bukan untuk mengumpulkan berbagai siddhi, atas dalih apapun. Patanjali
memaparkan Yoga Sutra ini utamanya guna menunjukkan jalan menuju Kaivalyam bukan untuk menjerumuskan
siapapun lantaran dibelenggu oleh siddhi-siddhi
itu. Bagi mereka yang memang punya motivasi-awal ingin menarik dan mengumpulkan
pengikut sebanyak-banyaknya, siddhi-siddhi
tentu merupakan pencapaian penting yang amat didambakan. Siddhi-siddhi kemampuan adikodrati yang memang mengagumkan ini amat
menggiurkan dan punya daya-tarik yang besar bagi kebanyakan orang. Awam amat
mudah dikecoh dan ditarik lewat pamer siddhi-siddhi
ini. Paradigmanya bak ‘gayung bersambut’. Padahal Ashtanga Yoga samasekali
tidak dirancang untuk itu. Ini akan lebih ditegaskan lagi oleh Patanjali dalam
Kaivalya Pada.
Dalam “Understanding Yoga”, Sri Swami Sivananda
dengan mengingatkan para peminat Yoga agar berhati-hati. Beliau memaparkan
beberapa contoh yang umum ditemukan, yang beliau tegaskan sebagai ‘bukan Yoga’.
Diantara contoh-contoh yang seringkali mengelirukan dan mengecoh awam itu
adalah: Seorang lelaki mengubur dirinya hidup-hidup dalam satu kotak di bawah
tanah. Ia melakukannya dengan menutup lubang hidungnya dengan
menggunakan Khechari Mudra
(salah-satu cara pengaturan nafas dalam HathaYoga). Tanpa diragukan lagi, ini
memang sebuah Kriya yang sulit. Ia
kemudian memasuki Jada Samãdhi. Ini merupakan suatu keadaan seperti tidur
nyenyak. Samskara-samskara dan vasana-vasana tidak terbakar melalui
Samãdhi ini. Ia tidak bangkit kembali dengan membawa serta pengetahuan luhur
superintuisional (jnana).
Ini tak
dapat memberikan Mukti atau Kebebasan. Ini hanya sejenis pertunjukan prestasi
kekuatan saja. Ini bukanlah ciri spiritualitas sejati. Orang-orang umumnya
memanfaatkan Kriya ini untuk
mendapatkan uang, nama dan kemasyuran. Setelah mereka keluar dari kotak itu,
merekapun menengadahkan tangannya meminta uang. Mereka juga seringkali membuat transaksi
terlebih dahulu, sebelum mereka masuk kedalam kotak itu, kemudian Seseorang
yang terikat tangan dan kakinya dengan rantai besi dan dikurung dalam satu
ruangan. Sebelum Anda mengunci pintu ruangan itu ia berdiri di belakang Anda.
Masuklah ke dalam ruangan untuk melihatnya; Andapun melihatnya masih disana.
Tak diragukan lagi, ini tentu teramat mengagumkan. Ini hanyalah sebuah trik. Ini
sejenis jãlam atau ilusi, dan Beberapa orang dapat duduk di atas selembar
papan yang dipenuhi paku-paku tajam sambil mengunyah ular layaknya mengunyah
coklat. Bila Anda menusukkan sebatang jarum panjang pada kedua tangannya;
tak ada darah yang keluar.
Masyarakat
awam umumnya akan mudah terkecoh dan menyangka bahwa seseorang sebagai seorang
yogi atau Guru spiritual, bila ia mampu menunjukkan beberapa bentuk siddhi. Ini
benar-benar merupakan kekeliruan serius. Mereka tak seharusnya dipercaya secara
berlebihan hanya lantaran itu. Awam amat mudah menjadi korban tipuan para yogi
palsu ini. Mereka seharusnya menggunakan nalar sehatnya. Mereka seharusnya
mempelajari cara-cara yang digunakan, kebiasaan-kebiasaan, watak, kelakuan, vritti, svabhava, keturunan, dsb., dari
para calon Guru spiritualnya, dan bila perlu menguji pengetahuan mereka tentang
kitab-kitab suci, sebelum mereka menarik suatu kesimpulan apapun tentang itu.
III Penutup
3.1 Kesimpulan
Manusia sebagai penyembah Tuhan mempunyai pemikiran yang
berbeda daya tangkap yang berbeda, serta daya nalar yang bebeda untuk itu Tuhan
memberikan berbagai macam jalan atau cara untuk hambaNya agar dapat mendekatkan
diri denganNya. Ada yang melalui jalan bakti, pengetahuan, tingkah laku,
ataupun pemusatan pikiran dengan melakukan yoga dan samadhi.
Yoga menitik-beratkan pada metode pembebasan Purusha dari
belenggu ini, melalui upaya yang benar. Oleh karena itu, Yoga lebih merupakan
metode praktis guna pencapaian, ketimbang suatu paparan filosofis semata.
Sebagai suatu sistem filsafat (Darsana), ia merupakan Sa Ishvara Sankhya, yaitu
dengan memasukkan ke-duapuluhlima Tattva
dari Sankhya serta menambahkan satu lagi yakni: Ishvara. Dengan demikian, Yoga
melengkapi karakteristiknya sebagai suatu sistem Sadhana yang bersifat praktis.
Ketika diselubungi oleh tembok penghalang kebodohan (Aviveka), Purusha menyangka bahwa Ia tidak sempurna, tak-lengkap,
dan menyangka kalau kelengkapan itu hanya dapat dicapai melalui penggabungannya
dengan Prakriti. Purusha lalu katakanlah
demikian mulai menggapai Prakriti dan
dengan disinari oleh kesadaran-Nya, Prakriti
yang tiada berdaya (lembam) mulai
mempertunjukkan berbagai objek-objeknya secara kaleidoskopis. Purusha,
disebabkan oleh Prakriti-Samyoga penyamaan diri dengan Prakriti, tampak ingin
merasakan kenikmatan dari objek-objek ini. Ia berbuat seperti yang sudah-sudah;
tampak berupaya meraih objek-objek tersebut. Kini belenggu walaupun sesungguhnya
tidak esensial bagi Purusha menjadi lengkap dan selanjutnya lingkaran visi
serupa itu tersimpan terus. Transmigrasi dari masing-masing individu, seperti
itu, adalah konsekwensi dari Aviveka
beserta segala efek-efeknya. Yoga, melalui proses ilmiahnya, memotong lingkaran
ini satu persatu dan mengantarkan menuju Kaivalya
Moksha, yang merupakan realisasi dari
Purusha (sejati), yang bebas dari Prakriti beserta segenap evolusinya.
Daftar
Pustaka
-
Visvanathan. Ed. Apakah
Saya Orang Hindu?, Am I A Hindu?. Manikgeni. Pedungan.
Denpasar.
- Departemen Agama. Intisari Ajaran Hindu, Paramita, Surabaya, 2003.
-
Irmansyah Efendi. Kundalini: Teknik
Efektif untuk Membangkitkan, Membersihkan,
dan Memurnikan Kekuatan Luar Biasa dalam Diri Anda, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
-
Bansi Pandit. Pemikiran Hindu:
Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu Dan Filsafatnya,
Paramita, Surabaya, 2006.
- Sunetra, I Made. Laya Yoga, Paramita, Surabaya,
2004.
- Patanjali, T.Th. Yogasutra dalam Svami Sivananda,
1988. All About Hiduism (Diterjemahkan)
: Intisari Ajaran Hindu oleh Tim Penterjemah Yayasan Sanatana
Dharmasrama, Paramita. Surabaya). 1993.
-
Tim Guru Agama Hindu Kelas III SMU-SMK Kabupaten Buleleng. Pendidikan Agama Hindu. Singaraja.
2002.
- Saraswati,
Suami Satya Prakas. Patanjali Raja Yoga. Paramita.
Surabaya. 1996.
-
Parisada
Hindu Dharma Indonesia. Raja Yoga : Dasar-dasar Pemahaman dan Petunjuk-petunjuk
Praktis bagi para Penekun.
www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=322&I temid=93
- Bharati,
Suami Veda. Mantra,
Inisiasi, Meditasi dan Yoga
(Terjemahan : IGA. Paransita, S.E). Surabaya : Paramita. 2002.
0 komentar:
Posting Komentar