Pages

Minggu, 26 Januari 2014

BABAD ARYA KRESNA KEPAKISAN

BAB I

1.1 BABAD ARYA KRESNA KEPAKISAN
Nama Arya Kresna Kepakisan dalam beberapa babad sering ditulis Kepakisan saja tanpa Kresna. Mungkin para penulis tersebut, ragu, betulkah nama “Arya Kepakisan” itu adalah Arya Kresna Kepakisan? Atau mungkin pula untuk membedakan dengan nama Dalem Kresna Kepakisan yang mempergunakan kata Kresna juga, maka ditulis tanpa disertai kata “Kresna”.
Kata “Kresna” pada nama Arya Kresna Kepakisan, menipakan ciri bahwa beliau itu keturunan raja Airlangga. Dinasti Airlangga adalah penganut agama Hindu Waisnawa, memuja dan menyembah Dewa Wisnu sebagai Dewa tertinggi di samping Dewa Siwa dan Brahma serta Dewa lainnya. Dewa Wisnu yang berfungsi sebagai Dewa Sthiti, DewaPemelihara, akan selalu turuntangan langsung bila ada kekacauan yang mengancam keberadaan umat manusia di marcapada ini. Untuk mempermudah tugasnya, Dewa Wisnu ketika turun ke bumi, beliau menjelma sebagai awatara. Diantara awatara Dewa Wisnu yang paling terkenal adalah Bathara Kresna. Beliau turun ke mercapada untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran tatkala timbul pertikaian antara Keluarga Pandawa dengan Keluarga Kaurawa. Bathara Kresna turun untuk menyelamatkan umat manusia dan jagat raya dari kehancuran. Dipercaya oleh masyarakat bahwa Prabu Airlangga adalah titisan Dewa Wisnu, sebagai Bhatara Kresna yang turun ke dunia ini untuk menyejahterakan umat manusia. Karena itu Prabu Airlangga dipuja sebagai Bhatara Wisnu, Sang Hyang Hari, Bhatara Kresna, dengan wahana kesayangannya berupa burung garuda. Beliau selalu dilukis atau dibuatkan patung dalam bentuk Dewa Wisnu atau Bathara Kresna dengan wahana burung garuda. Lukisan Garda Wisnu merupakan lambang kerajaan. Prabu Airlangga dianggap sebagai penurun wangsa Wisnu, Wisnwangsa purwakam krtam di bumi ini. Itulah salah satu alasannya, mengapa salah seorang keturunannya mempergunakan nama “Kresna”, yakni Arya Kresna Kepakisan, untuk menegakkan kedamaian, keamanan serta kesejahteraan di jagat ini.
Sedangkan nama “Kepakisan” merupakan nama tempat asal beliau dilahirkan, yaitu desa Pakis. Pakis berarti juga paku. Ibu Dang Hyang Kepakisan, leluhur Dalem Kresna Kepakisan berasal dari treh Aryeng Kadiri, leluhur Arya Kresna Kepakisan. Mungkin karena itu beliau memakai juga nama “Kepakisan”. Jadi, bila ditinjau dari asal-usul kekerabatan, maka antara Sri Kresna Kepakisan dengan Arya Kresna Kepakisan masih satu darah keturunan dilihat dari garis pihak ibu. Garis pradhana. Kebetulan atau memang disengaja oleh Mahapatih Gajah Mada yang terkenal bijak dan pintar itu, untuk memilih Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai raja dan Arya Kresna Kepakisan sebagai mahapatih di kerajaan Bali. Keduanya, sebagai dwi tunggal didudukkan dan ditancapkan di Bali Dwipa sebagai paku atau pakis jagat, untuk melanggengkan kemahakuasaan kerajaan Majapahit.
Arya Kresna Kepakisan adalah putra dari Sirarya Aryeng Kadiri, raja muda kerajaan Kediri di Jawa Timur, keturunan Raja Airlangga. Sirarya ini adalah putra dari Sri Aji Jayasabha. Sedangkan Raja Airlangga adalah putra kesayangan raja Bali, Sri Dharmodayana Warmadewa yang lebih dikenal dengan sebutan Raja Udayana. Permaisuri Raja Udayana ini adalah Gunapriya Dharmapatni, adik raja Sri Aji Dharmawangsa di Jawa Timur. Karena raja Jawa ini tidak mempunyai putra mahkota, maka diminta kemenakannya, Sri Aji Airlangga untuk menggantikannya menjadi raja Kahuripan di Jawa Timur. Setelah dikawinkan dengan putri raja sebagai suatu persyaratan, beliau diangkat menjadi raja Kahuripan di Jawa ini. Beliau memerintah pada tahun 1019 - 1042. Sedangkan adik Prabu Airlangga, Sri Aji Marakata dan kemudian Sri Aji Anak Wungsu menjadi raja di Bali.
Pada th.1293 kerajaan Kediri dari dinasti Airlangga itu, waktu itu dibawah pemerintahan raja Sri Aji Jayakatong, ditaklukkan oleh Sri Aji Arsawijaya, terkenal dengan nama Raden Wijaya, dari kerajaan Majapahit. Karena kalah, maka derajat rajanya, mulai dari Sri Aji Jayasabha diturunkan dari raja menjadi raja muda atau adipati. Gelar yang semula Sri Aji diubah menjadi Demak Kearyan, yaitu Aryeng, Sirarya, Nararya atau Arya, bukan Sri Aji lagi. Itulah sebabnya semua keturunan Prabu Airlangga sejak saat itu bergelarArya, tidak terkecuali Arya Kresna Kepakisan, putra Aryeng Kadiri. Beliau inilah yang dipilih oleh Mahapatih Gajah Mada untuk memimpin ekspedisi pasukan Majapahit pada th 1352 ke Bali. Tugas pasukan khusus ini adalah untuk menumpas pemberontakan yang menentang pemerintahan Raja Dalem Kresna Kepakisan, yang telah dinobatkan oleh Raja Majapahit pada th.1350 sebagai Raja Bali.


1.2 PERTEMPURAN DI BUKIT PEGAT
Tidak banyak dapat diketahui dari catatan beberapa babad, baik babad Mengwi, babad Dalem, Pemancanggah, geguritan atau sumber lainnya, maupun dari buku tentang bagaimana sebenamya pertempuran di Bukit Pegat antara I Gusti Kaler Pacekan dengan I Gusti Agung Maruti. Hanya ditulis bahwa I Gusti Kaler Pacekan gugur di tangan I Gusti Agung Maruti di Bukit Pegat. Karena itu, kisah gugurnya I Gusti Kaler Pacekan hanya dapat digali dari cerita rakyat, yang dituturkan turun-temurun di desa Lengkayan Kutuh. Cerita ini dapat dipercaya kebenarannya, berdasarkan beberapa bukti yang ada, seperti pradma dan palinggih I Gusti Kaler Pacekan yang masih ada sampai sekarang di pura Sang Tengah di desa Lengkayan Kutuh, Kecamatan Kintamani, Bangli.
Menurut ceritra dari mulut ke mulut di masyarakat Lengkayan Kutuh, yang merupakan perbatasan antara daerah Buleleng timur dan Bangli, I Gusti Kaler Pacekan pernah berada di daerah ini. Beliau beserta keluarganya dan para pengiringnya menetap di desa ini. Dikatakan bahwa badan fisik beliau tinggi besar dengan kumis dan jenggot yang amat lebat, brewok. Walaupun penampilan fisiknya demikian, temyata beliau amat ramah, bijak dan berwibawa. Masyarakat Lengkayan Kutuh amat senang, apalagi beliau mau menetap di daerah tersebut.
Tidak beberapa lama kemudian, keberadaan I Gusti Kaler Pacekan, ternyata diketahui oleh I Gusti Agung Maruti. Maka dikerahkanlah sebuah pasukan khusus yang dipimpin oleh I Gusti Agung Maruti sendiri untuk mengejar I Gusti Kaler Pacekan. I Gusti Kaler Pacekan beserta keluarga dan prajurit setianya terdesak dan mundur ke arah perbukitan yang masih ditumbuhi pohon yang besar-besar sehingga merupakan hutan lebat, yang letaknya di sebelah utara desa. Untuk menghambat pengejaran musuh, menurut legenda, diputuskanlah bukit tersebut menjadi dua bagian, mempergunakan keris Ki Sekar Gadung. Seketika itu, karena kesaktian keris itu, bukit ini terbelah seperti diiris dengan pisau. Sejak itu wilayah di bukit tersebut dinamai Bukit Pegat. Ternyata usaha memegat bukit hanya menghambat kemajuan musuh untuk sementara. Pasukan I Gusti Agung Maruti dengan pelan tetapi pasti terus maju dan dapat melaluinya. Pertempuran tidak dapat dielakkan, tedadilah pertempuran yang amat seru. Setiap orang berusaha untuk membunuh musuhnya. I Gusti Kaler Pacekan bersenjatakan Ki Sekar Gadung dan Ki Panglipur melakukan perang tanding dengan I Gusti Agung Maruti yang memegang senjata Ki Bintang Kukus. Dalam perang ini akhimya I Gusti Kaler Pacekan tewas. Beliau gugur secara ksatria dalam peperangan yang adil.
Sebelum gugur, melihat situasi yang tidak menguntungkan, I Gusti Kaler Pacekan memerintahkan kepada istri dan putra-putrinya untuk menyelamatkan diri. Semula mereka menolak ingin gugur bersama. Tetapi dengan tegas I Gusti Kaler memerintahkan agar keputusan dan perintah ini ditaati. Jika tidak menghiraukan perintah ini, dianggap “langgia” atau durhaka terhadap beliau. Maka dengan berat hati, setelah menghaturkan sembah bhakti, sebagai penghormatan terakhir, masing-masing istri dan putra beliau berusaha menyelamatkan diri, menyebar ke seluruh pelosok Bali. Di tempatnya yang baru, kebanyakan dari mereka ini “nyerodang wangsa” untuk menutupi identitas yang sebenarnya, sebagai keturunan I Gusti Kaler Pacekan.
Bagaimana nasib jenazah I Gusti Kaler Pacekan? Kebanyakan masyarakat Lengkayan Kutuh yakin bahwa layon I Gusti Kaler Pacekan telah “moksa” atau gugur tanpa layon. Pernyataan ini keluar karena tidak diketemukannya jenazah beliau di tempat bekas pertempuran. Kemungkinan besar layon I Gusti Kaler Pacekan jatuh atau dibuang ke jurang yang ada di sekitar bukit atau telah dibakar oleh I Gusti Agung Maruti dan kemudian abunya di bawa, sehingga masyarakat tidak menemukan apa-apa. Sebagai sesama treh, pratisentana atau tosning Arya Kresna Kepakisan, yang pernah bahu membahu ketika menghadapi serangan pasukan musuh di Gelgel, kemudian merasakan pahit getirnya dikejar musuh, lari dan bersembunyi di Jimbaran, tentu rasa hiba dan kesadaran timbul di dalam hati I Gusti Agung Maruti. Buat apa saling membunuh? Kalau hasilnya seperti ini? Akankah menambah keharuman nama dan kemashuran dengan membunuh sesama saudara seketurunan? Penyesalan yang sudah terlambat! Kedua kerisnya, Ki Sekar Gadung dan Ki Panglipur diambil oleh I Gusti Agung Maruti, walaupun ada, yang mengatakan bahwa kedua keris itupun ikut lenyap secara, gaib di Bukit Pegat.
Untuk menghormati I Gusti Kaler Pacekan, masyarakat Lengkayan Kutuh mensthanakan atau malinggihkan atman beliau sebagai Dewa Pitara di Pura Dang Kahyangan Sang Tengah, di puncak Bukit Pegat tempat pertempuram Sampai sekarang palmggih I Gusti Kaler Pacekan di Pura Sang Tengah masih tetap ada dan dihormati.
Sedangkan mengenai nama Bukit Pegat, yang terjadi akibat bukit dibelah dua oleh I Gusti Kaler Pacekan dengan memakai keris Ki Sekar Gadung, mungkin nama ini sebagai nama simbolis. Hal ini dapat disamakan dengan nama Bale Pegat yang ada di halaman depan Pura Besakih. Bale ini bukanlah balai yang terbelah dua, tetapi tempat pernercikan tirtha untuk menghapus mala, memutus atau memegat keletehan para pemedek yang dibawa dari jaba pura ketika akan memasuki jeroan pura Besakih. Jadi memutus atau memegat keletehan umat yang akan bersembahyang dengan air tirtha sehingga muncul kesucian. Demikian pula dengan nama Bukit Pegat di Lengkayan Kutuh. Di sinilah dipegat atau diputus hubungan antara atman dengan raga saria, dipegat atman I Gusti Kaler Pacekan sehingga meninggalkan badan raganya. (Catatan: secara nyata memang di sekitar gunung tersebut telah ada jurang yang tebingnya tegak lurus seperti tanah yang diiris pisau atau keris).
I Gusti Agung Maruti kemudian kembali ke Kuramas. Putra sulung beliau I Gusti Agung Putu diangkat sebagai penguasa Kuramas. Sedangkan putra yang bungsu, I Gusti Agung Anom alias I Gusti Agung Made Agung, menjadi penguasa, di Mengwi. Putra raja Mengwi ini yang bernama I Gusti Agung Putu Agung terkenal dengan sebutan Cokorda Sakti Blambangan, karena mampu menaklukkan daerah Blambangan di Jawa Timur. Keturunan beliau ada pula yang menjadi penguasa di Jembrana, I Gusti Ngurah Sloka di puri Gede Jembrana. Putra, I Gusti Agung Maruti yang kedua, seorang putri bemama I Gusti Istri Ayu Made tinggal bersama kakaknya di Kuramas. Tidak selang berapa lama putri ini terkena penyakit jiwa. Telah diusahakan diobati dengan berbagai cara, tetapi tidak kunjung sembuh. Oleh sebab itu untuk pengobatan selanjutnya putri ini diserahkan kepada adiknya di Mengwi, agar dapat berobat pada Pedanda Wanasara. Setelah agak sembuh, oleh I Gusti Agung Anom putri ini diserahkan kepada Pedanda Wanasara, untuk dikawini, tanpa persetujuan kakaknya di Kuramas. Mendengar adiknya dikawinkan dengan Pedanda Wanasara, I Gusti Agung Putu di Kuramas amat marah. Pedanda Wanasara, dibunuh dan I Gusti Istri Ayu di bawa ke Kuramas. Sebelum Pedanda Wanasara, meninggal, konon beliau mengeluarkan kutukan agar I Gusti Agung Putu dan I Gusti Agung Anom tidak mempunyai keturunan, menderita sakit ingatan dan tidak pemah menjadi raja lagi. Itulah kisah I Gusti Agung Maruti dengan keturunannya di Kuramas Gianyar dan di Mengwi Badung.

1.3 Putra-Putra I GUSTI KALER PACEKAN
Konon, ketika I Gusti Kaler Pacekan tahu akan tamat riwayatnya ditangan Agung Maruti di Bukit Pegat, Kutuh, Bangli, maka istri beserta putra-putranya yang telah dewasa bersama keluarganya disuruh menyelamatkan diri. Menyebar sendiri-sendiri ke seluruh Bali. I Gusti Den Tembok menuju ke daerah Tabanan. Seterusnya beliau menetap di Jelahe atau Jelai. I Gusti Kapaon mengungsi ke wilayah Buleleng bagian barat. Kemudian menetap di desa Kayuputih. I Gusti Alit Kaler menuju ke daerah Mengwi, dan selanjutnya menetap di desa Umabyan. I Gusti Tajeran menuju ke wilayah Karangasem, kemudian ke Buleleng dan Tabanan. Ada pula yang mengatakan bahwa I Gusti Tajeran bersama dengan adiknya I Gusti Kepaon menuju ke Buleleng barat. Sedangkan I Gusti Poh Gading kemudian kembali ke Gelgel, karena telah diampuni oleh Dalem. Dan istri I Gusti Kaler yang sedang hamil, bersembunyi di sebelah barat Bukit Pegat, di Palasan Taman Sari, Madenan, Buleleng. Dari istri ini lahir I Gusti Manik Galih yang menetap di desa Madenan, Buleleng. Demikianlah kisah yang dapat dihimpun tentang beberapa putra beserta keluarga dari I Gusti Kaler Pacekan. Sedangkan kisah putra-putra I Gusti Kaler Pacekan yang lain masih dalam penelusuran dan pelacakan.

1.4 I GUSTI MANIK GALIH
Salah seorang istri I Gusti Kaler Pacekan yang bernama I Gusti Ayu Surung karena sedang hamil, tidak mampu berjalan lebih jauh lagi ke arah barat. Beliau bersama pengiringnya bersembunyi di sebuah lembah yang masih lebat hutannya, yang sekarang dikenal dengan nama Taman Sari. Di tempat ini kemudian didirikan pura oleh keluarga Alit Mendala sebagai kenangan tempat leluhurnya pernah bersembunyi, diantara desa Kutuh dan Madenan, sebelah barat dari Bukit Pegat. Selang beberapa bulan, diperkirakan keadaan sudah aman, maka beliau pindah menuju ke desa Madenan. Desa ini sekarang masuk Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Di desa ini beliau berdiam di rumah penduduk Madenan yang bernama I Jelantik. Tidak lama kemudian lahirlah seorang bayi laki-laki dari rahim I Gusti Ayu Surung yang diberi nama I Gusti Manik Galih. Semenjak melahirkan ini beliau dijuluki I Gusti Ayu Manik.
Setelah dewasa dan beristri, I Gusti Manik Galih berputra seorang laki-laki yang cerdas dan cekatan diberi nama I Gusti Alit Mendala. Rupanya I Gusti Alit Mendala ini tidak betah diam di Madenan. Pada waktu itu desa Madenan masih dikelilingi hutan lebat. Belum ada jalan raya. Desa ini letaknya agak terpencil dari desa lainnya. Untuk berhubungan dengan desa luar agak sulit. Beliau menyadari bahwa untuk maju tidak mungkin terus tinggal di desa ini. Beliau melihat sesuatu yang lebih memungkinkan untuk hidup lebih berkembang dan maju. Maka diputuskanlah untuk pindah ke daerah pesisir, dekat pantai. Karena dipantai lebih banyak kemungkinan untuk hidup dan berhubungan dengan desa lainnya. Setelah ditinjau dan direnungkan maka pilihannya jatuh pada desa Bondalem. Desa ini terletak 8 km di sebelah utara desa Madenan, dekat pantai. Untuk tempat tinggalnya di desa Bondalem, beliau memilih tempat di bagian kaja kauh desa, yang kemudian dikenal dengan sebutan Jero Kaleran. Sebagai penunjang hidup beliau bertani. Lahan yang dipilih adalah daerah Suksuk, tanah subur yang berada di sepanjang sungai atau tukad Puana. Daerah ini berbatasan dengan desa Julah yang ada di sebelah baratnya.Ternyata pilihan lahan ini amat tepat. Berbagai komoditi pertanian dikembangkan. Jagung, tembakau, papaya, mangga dan jeruk.
Itulah sekelumit babad, silsilah, legenda, mitos dan cerita serta interpestasi sekitar pratisentana I Gusti Alit Mandala keturunan I Gusti Kaler PAcekan yang bermukim di desa Bondalem.











BAB II

2.1 Pengertian Merajan
Merajan atau sanggah adalah tempat suci untuk memuliakan arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang sudah tiada dan berada di alam baka (sunia loka) bagi masyarakat Hindu di Bali disebut Merajan atau Sanggah. Di lihat dari istilah kedua kata itu berasaldari bahasa sansekerta, yaitu raja yang juga disebut rajan yang secara umum juga berarti raja, ialah sebutan atau gelar kepala pemerintahan dari suatu system pemerintahan kerajaan dan merupakan jabatan yang mulai atau dimuliakan. Timbul tradisi dan kebiasaan bilamana menyebut sorang raja didahului dengan kata penghormatan  seperti misalnya dengan kata yang mulia. Kata rajan dalam bahasa sansekerta kemudian memperoleh awalan ma lalu menjadi merajan yang bermakna tempat memuliakan dan memuja yang dalam hal ini untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang sudah tiada.
            Sedangkan kata sanggah berasar dari kata sanggar yang secara harfiar berarti kuil atau sangga dalam kaitan kata anangga yang berarti memegang tinggi juga dapat bermakna menjungjung atau memuja . jadi dengan demikian sanggah berarti tempat suci untuk menjunjung tinggi atau memuja leluhur dan isa sang hyang widhi wasa dalam berbagai prabawa atau manifestasinya beliau.
            Dengan demikian antara sanggah dan merajan memiliki arti atau makna yang sama yakni tempat suci sebagai tempat pujaan kepada leluhur dan ida sang hyang widi wasa.
2.2 Fungsi Sangggah/ Pamerajan
Berdasarkan keyakinan umat Hindu di Bali, Sanggah/Pamerajan berfungsi sebagai:
a.       Sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widi Wasa dan para Leluhur/Kawitan
b.      Sebagai tempat berkumpul sanak keluarga dalam mempererat tali keluarga.
c.       Sebagai tempat kegiatan social/pendidikan yang berkaitan dengan Agama.

2.3  Beberapa pelinggih dalam merajan antara lain
2.3.1 Kemulan Rong Tiga
Bangurtan suci yang beruang (rong) tiga sebagai tempat pemujaan yang terdapat pada setiap rumah tangga (Keluarga). Menurut seminar kesatuan tafsir tahun 1984, fungsi dari Sanggah Kemulan/Rong Tiga adalah untuk memuja Tri Murti, Dewa Brahma berstana di ruang kanan, Dewa Wisnu di ruang kiri dan di tengah berstanalah Dewa Siwa. (Nurkancana, 1997:139 dan Wikarma, 1998:2). Menurut Lontar Gong Besi, Usana Dewa dan Tattwa Kepatian yang berstana di Sanggah Kemulan/Rong Tiga adalah Sang Hyang Tri Atma. Atma yang diidentikan dengan ayah (purusa) di ruang sebelah kanan, Siwatma yang diidentikkan dengan ibu (pradana) di ruang sebelah kiri dan Paramatma, tuhan yang maha tunggal di tengah. Dalam Lontar Purwa Bumi Kemulan, memberikan penjabaran lebih lanjut tentang dimensi fungsional dari Sanggah Kemulan/Rong Tiga sebagai menstanakan Dewa Pitara (leluhur). Dari sisi susila, menstanakan Dewa Pitara pada Sanggah Kemulan adalah bermaksud mengabadikan roh leluhur yang telah suci untuk selalu dipuja, memohon doa restu, dan perlindungan.
Maksud dari pada pembanguan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga tiada lain agar kita selalu ingat dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi dalam kaitannya dengan hutang yang disebut dengan Tri Rnam. Yang dimakasud dari Tri Rnam yaitu Tiga Hutang. Tiga Hutang yang dimaksud yaitu:
1.    Kepada Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai pencipta yang telah memberi kesehatan dan keselamatan dengan segala kebutuhan hidup kita.
2.    Hutang kita kepada leluhur, terutama ibu dan bapak yang telah membesarkan kita, hingga menjadi dewasa.
3.    Hutang kita kepada para Rsi yang telah berjasa mengajarkan kepada kita mengenai agama, kebudayaan dan lain-lain.
Demikian maksud dari pembuatan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga sebagai anggota masyarakat terkecil agar kita selalu ingat kepada Tri Rnam itu, yang merupakan Yajna dalam kehidupan sehari-hari (Soeka, 1993:10).
Sedangkan ditinjau dari aspek Etika adalah kewajiban (swadharma) dari keturunan atau pretisentana untuk selalu memuja leluhur. Konsep pemujaan leluhur yang dilakukan oleh Umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali adalah bersumber dari ajaran Agama Hindu yang lazim disebut dengan Sraddha (Swastika, 2007:24).
Fungsi Sanggah Kemulan
1.      Tempat Pemujaan Ida Hyang Widdhi
Dimuka sudah dijelaskan, bahwa pengertian Hyang Kamulan, adalah Sanghyang Tri Atma yang panunggalannya adalah Hyang Tuduh atau Hyang Tunggal. Sanghyang Tri Atma yakni : Atma, Sivatma dan Paratma adalah Tuhan, dalam manifestasinya sebagai Roh. Menurut sistim Yoga, Ia adalah identik dengan Tri Purusa (Siva, Sadasiva dan Paramasiva) menurut filsafat Siva Sidhanta dan sesuai pula dengan Brahma, Visnu, Isvara. Ia juga sesuai dengan fungsi Siva sebagai Guru. Oleh karenanya Hyang Kamulan adalah juga Bhatara Guru, yang berdimensi tiga pula, yaitu Guru Purwam (Paramasiva), Guru Madyam (Sadasiva) dan Guru Rupam (Siva). Jadi dengan demikian sesungguhnya yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah Ida Hyang Widhi dalam wujud sebagai Sanghyang Tri Atma, Sanghyang Tri Purusa (Bhatara Guru) dan Sanghyang Tri Murti.
2.        Tempat Memuja Leluhur
Dalam lontar Purwabhumi kamulan dinyatakan bahwa Sanggah Kamulan adalah tempat Ngunggahang Dewapitara,
“… iti kramaning anggunggahaken pitra ring kamulan …”
(Rontal Purwabhumi Kamulan, lembar 53).
Ngunggahang Dewapitara pada kamulan dimaksudkan adalah untuk “melinggihkan” atau mensthanakan” dewa pitara itu.
Yang dimaksud dengan dewa pitara adalah : roh leluhur yang telah suci, yang disucikan melalui proses upacara Pitra Yadnya, baik Sawa Wedana maupun Atma Wedana.
Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat “irika mapisan lawan dewa Hyangnia nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). Hal ini adalah merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan paratma).
Pemikiran tersebut didasarkan atas aspek Jnana kanda dari ajaran Agama Hindu.
Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan, adalah bermaksud mengabdikan/melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu akan dipuja, mohon doa restu dan perlindungan.
Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal :
“… iti kramaning ngunggahakan pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa wales, dinanya, sawulan pitung dinanya…”.

Artinya :
“… Ini perihalnya menaikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua belas harinya, atau 42 harinya…”.

Jadi upacara ngalinggihang Dewapitara adalah merupakan kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa, sehingga disebut Dewapitara, maka upacara ini tidak tergolong pitra yadnya lagi, melainkan tergolong Dewayadnya. Dari uraian di atas itu, jelaslah bagi kita, bahwa Sanggah Kamulan disamping untuk memuja Hyang Widhi, juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah menunggal dengan sumbernya (Hyang Kamulan, atau Hyang Widdhi).
Sejarah Kemulan
Sanggah Kamulan, menurut Tattwanya, jelas bersumber dari ajaran Hindu, aspek Jnana kanda dan etikanya. Aspek Jnana kanda adalah bersumber dari sistim Yoga, Wedanta, Samkhya, dan Siva Sidhanta. Hal ini sudah kita uraikan di muka, pada bab III.
Sedangkan latar belakang etiknya, adalah kewajiban (swadharman) dari keturunan atau “pretisentana” untuk selalu memuja leluhurnya. Konsep pemujaan leluhur yang dilakukan oleh umat Hindi di Indonesia khususnya Bali adalah bersumber dari ajaran agama Hindu. Pustaka suci agama Hindu banyak sekali menguraikan tata cara pemuhaan leluhur, yang lazim disebut “sraddha”.
Dalam buku Griha Sutra, disebutkan bahwa pada setiap rumah tangga Hindu, terdapat tempat pemujaan leluhur yang disebut “Wastospati”. Upacara pemujaannya disebut “pinda pitara yajna”.
Alam Dharmasastra, tatacara pemujaan leluhur dengan panjang lebar diuraikan pada bab III. Demikian juga pada buku-buku Purana cerita Itihasa, baik Ramayana maupun Mahabarata.
Dengan adanya data-data pasti tentang adanya konsep pemujaan leluhur dalam ajaran Agama Hindu, ini berarti pendapat para pakar kepurbakalaan tentang pemujaan leluhur dalam masyarakat Hindu di Bali, yang dikatakan bersumber dari konsep pemikiran pra Hindu dapat di kesampingkan.
Jadi dengan demikian adanya Sanggah Kamulan sebagai tempat leluhur, dalam rumah tangga di Bali, adalah setua masuknya Agama Hindu di Indonesia.
Sedangkan kata “Kamulan” itu sendiri, sebagai sebutan tempat suci, telah disebut-sebut dalam Prasasti Sri Kahulunan pada tahun 842 AD yang kutipan kalimatnya sebagai berikut :
Tatkala Sri Kahulunan manusuk warna I trupurussan watak kahulunan simaning kamulan bhumi sembara”.
(Wikarman, 1998 : 22)
Kamulan bhumi sambara dimaksudkan adalah candi Borobudur, yang menurut De Casparis merupakan pemujaan 14 tingkat leluhur dari raja Cailendra.

Nama Kamulan sebagai tempat suci juga kita dapati dalam prasasti Siman A-126 yang menyebutkan “Sanghyang Dharma Kamulan i paradah”. Demikian juga dalam prasasti Klungkung A-439 ada juga disebut Kamulan. Bangunan tempat suci yang bernama kamulan telah ada kurang lebih 1.000 tahun yang lalu. Di Bali sebagai pemujaan dalam setiap rumah tangga digariskan dalam lontar Sivagama. Diperkirakan lontar tersebut adalah merupakan ajaran Mpu Kuturan. Jadi dengan demikian dapat diperkirakan Mpu Kutuanlah yang mengajarkan agar setiap karang perumahan bagi umat Hindu di Bali, didirikan Sanggah Kamulan.
Pengastawa di Kemulan:
            Ong dewa-dewa Tri Dewanam
            Tri Murti Tri Linggadmanem
Brahma Wisnu Maheswaram
Sarwa Jagat Jiwatmanam
Ong Guru Rupam Sadadnyanem
Guru Patanranam Dewam
Guru Nama Japet Sada
Nasti-nasti Dine-dine
Ong Gung Guru Paduke bionamah svaha
Demikianpula dengan sekta Bhairawa juga pernah berkembang di Bali. Adapun bukti perkembangannya adalah adanya pemujaan Siwa dalam wujudnya yang sangat hebat dan mengerikan  yang disebut dengan nama Dhurga. Sekta Bhairawa sering pula disebut dengan nama Tantrisme kiri Wamaskta. Istilah lain yang sering dipergunakan untuk menyebutkan Tantrisme kiri adalah Prawrti marga sebutan untuk membedakan dengan Tantrisme kanan yang disebut Niwerti marga. Pemujaan Durgha di Bali juga dapat dilihat pada mantra Durgastawa, yang juga digunakan oleh para pendeta di Bali. Sekta Bhairawa ini juga terdapat di merajan yaitu adanya kemulan rong tiga yang merupakan Sang Hyang Trimurti, sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Brahma-Wisnu-Siwa.
2.3.2        Taksu
Taksu adalah nama sebuah pelinggih yang terdapat disamping Palinggih Kamulan Rong Tiga, Gedong Siwa maupun Gedong Kawitan. Taksu berarti daya Magic atau Sakti. Sakti adalah simbol daripada Bala atau Kekuatan (Swastika, 2007:19). Fungsi dari tempat suci ini adalah untuk memohon kekuatan gaib untuk pekerjaan yang digeluti bagi siapa yang mendirikan pelinggih tersebut. Di sisi lain, pelinggih ini juga difungsikan sebagai tempat “transit” Ida Bhatara ketika diadakan piodalan. Pelinggih Taksu kadang-kadang disebut juga “Pecelang”  yang khusus menerima, mengatur dan menempatkan Para dewa yang dianggap sebagai tamu yang turut menyaksikan jalannya upacara pujawali terkait dengan pengaruh sekte menurut analisis saya, ada kemiripan fungsi pelinggih Taksu dengan Ista Dewata dari sekte Sakta di India, sekte yang memuja aspek feminim tuhan (Sakti/kekuatan). Menurut Dr. Goris dan Lontar Purana Bali Dwipa, tidak menyebutkan adanya sekte Sakta di Bali, tapi berdasarkan fungsi Pelinggih Taksu saya berasumsi bahwa ada benang merah terhadap fenomena ini, sehingga perlu diadakan penelitian ilmiah lebih lanjut untuk mengetahui korelasi ini.
           Dapat dikatakan fungsi Taksu adalah pemujaan kepada Sakti dari Hyang Widhi, sehingga lengkaplah pemujaan kita kepada Hyang Widhi sebagai Purusa dan Hyang Widhi sebagai Cakti atau Pradana. Dalam perkembangannya Taksu berfungsi untuk memohon kesidiian atau keberhasilan untuk semua jenis profesi baik sebagai seniman, petani, pedagang peminpin masyarakat dan sebagainya. (Goggle:2012:1:26 PM)
            Wastra yang di gunakan di pelinggih Taksu adalah saput poleng. Makna filosofis Saput poleng merupakan refleksi dari kehidupan kita yaitu baik dan buruk  yang dalam Hindu dikenal dengan istilah RwaBhineda adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, atas-bawah, suka-duka dan sebagainya. Intinya mkana dari saput poleng ini adalah menandakankeseimbangan yang ada di alam ini.

Banten yang di gunakan dalam pelinggih taksu adalah:
Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari.
            Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.

Pengastawa Pelinggih Taksu:
            Ong, Ang, Ang, Ang Sang kala raja bionamah swaha
            Ong Kling, Kling Kling Sang Butha raja bionamah swaha

2.3.3        Bhatara Sami    
Pelinggih yang berjejer dari kiri ke kanan kesemuanya itu dinamakan Bhatara Sami. Bhatara Sami yang disebut dengan Sanggah Jajaran Kemiri. Dua pelinggih yang didamping pelinggih Surya yang berbentuk Padmasana itu yang disebut dengan bagian dari Sanggah Jajaran Kemiri. Kemudian Padmasana itu merupakan tempat berstananya Bhatara Surya (Sekte Sora). Untuk disebelahnya Padmasana yang dinamakan pelinggih Penataran Agung, kemudian disampingnya Batukaru, Uluwatu, pelinggih Mas Pahit yang ada Menjangannya. Yang berawal dari kedatangan Mpu Kuturan.

2.3.4        Padmasari/Padmasana
Padmasari atau Padmasana: Bangunan ini ditempatkan di tenggara mengarah ke barat laut. Pelinggih ini tempat pemujaan Hyang Siwa Raditya (Hyang Widhi Wasa). Hal ini ditandai dengan bagian atasnya dibuat terbuka dan pada tabingnya mahkota dipahatkan lukisan gambar Hyang Acintya. Ini merupakan konsep pemujaan kepada Siwa yang bergelar Hyang Siwa Raditya.
Jika di hubungkan ke dalam Sekta sivasiddhanta. Keberadaan sekta Sora di Bali dibuktikan dengan adanya pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang utama. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam adalah ciri penganut sekta Sora. Selain itu yang lebih jelas lagi adalah setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap dewa Surya sebagai dewa yang memberikan suatu perasaksianbahwa seseorang telah melakukan yadnya.  Dalam merajan ada padmasana yang merupakan stana dari Sanghyang Siva Raditya, Bhatara Guru, Bhatara Surya dan Sanhyang Tri Purusa yang merupakan manifestasi dari Siva.
 dapat disimpulkan dalam konsep Padmasana atau Padmasari ini merupakan mendapatkan pengaruh sekta Siwa Siddhanta.

2.3.5        Sri Sedana/Rambut Sedana
Palinggih ini merupakan stana Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sedana atau Limascatu yaitu Sakti (kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia.

2.3.6        Manjangan Salwang
Palinggih ini merupakan stana dari Mpu Kuturan dengan bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna agama Hindu di bali abad ke-10, bentuk palinggih ini berisi kepala menjangan lengkap dengan tanduknya.
Makna dari bangunan suci tersebut adalah untuk meningkatkan kepercayaan dan keyakinan terhadap keberadaan Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya melalui bangunan suci yang ada dipemerajan.
Penjelasan :
a.       Bangunanbertiang lima buah mengandung simbul Panca Rsi.
b.      Kepala Menjangan mengandung maksud Sang Putus atau Maha Rsi.
c.       Binatang menjangan bertanduk bercabang-cabang  mengandung maksud kekuasaan kerajaan Majapahit.
Kesimpulan :
            Ada lima Maharsi dari Majapahit yang pernah datang ke Bali untuk menata kembali masyarakat Bali baik dibidang fisik maupun spiritual.
Pangastawa pelinggih Ratu Ayu Mas Majapahit (Manjangan Salwang)
            Ong Hyang, Hyang jeng Sang Hyang Panca Rsi maha sidhi yenamah swaha
2.3.7        Balai Paruman
Bali ini merupakan stana bhatara dan bhatari ketika dipersembahkan piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Sering juga disebut sebagai bale piasan (pahyasan) karena pralingga-pralingga dihiasi ketika dilinggihkan disini.

2.3.8        Pengapit Lawang
Pengapit lawang yaitu dua buah palinggih disebelah kiri dan kanan yang merupakan stana dari Bhatara Kalla dengan bhhiseka jaga-jaga yang bertugas sebagai pecalang.

2.3.9        Bale Piyasan
Bale piasan disini biasanya dipergunakan sebagai tempat mengaturkan banten soda atau mengaturkan sesajen yang di persembahkan kepada para leluhur yang telah suci atau telah di Aben.
            Bentuk bangunan ini segi empat panjang memakai tiang bangunan empat buah, ada juga yang memakai enam buah tiang sesuai dengan besar kecilnya bangunan. Piasan berasal dari kata Pehiasan artinya tempat menghias atau merangkai simbul, seperti daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci dan tempat upakara yang akan dipersembahkan. Manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana pada bangunan ini adalah “ Sang Hyang Wenang”. Dari kata wenang yang artinya segala manifestasi Sang Hyang Widhi bisa distanakan pada bangunan piasan.

2.3.1    Bale Pengaturan
Bale pengaturan disini berfungsi sebagai tempat untuk menaruh banten atau segala sarana upacara persambahyangan yang akan di aturkan pada saat piodalan. Maka dari itu tempat ini disebut dengan balai pengaturan. Selain tempat banten, balai pengaturan disini biasanya dipergunakan oleh para pemangku untuk memimpin jalannya upacara yadnya yang di lakukan di merajan.

2.3.11    Pelinggih Panca Dewata (Meru Tumpang Lima) 
Meru tumpang lima disini merupakan genah atau linggih Ida Sang Hyang Widhi, dimana dalam hal ini pemujaan beliau merupakan manifestasinya sebagai Panca Dewata.
2.3.12    Gedong Ratu Niang
Gedong ratu niang disini merupakan tempat penyimpanan rangda, atau biasa disebut dengan nama Ratu niang. Rangda disini sangat disakralkan dan biasanya mesolah (dimainkan) pada saat odalan di merajan ini. Ratu niang disini dipercaya sebagai nenetral hal-hal yang negatif, dan sebagai pemberi perlindungan.


BAB III
3.1              Simpulan
Keharusan mengetahui asal-usul bagi penganut Hindu di Bali, tidak dapat di pungkiri lagi. Hal ini berkaitan dengan pengalaman Agama Hindu yang di anut oleh Umat Hindu Bali mengharuskan dilakukannya suatu kewajiban suci berupa yadnya yang di sebut Pitra Puja atau Pitra Yadnya, salah satu dari lima kewajiban yang disebut Panca Yadnya adalah merupakan penjabaran dari ajaran Tri Rnam (hutang kepada tiga unsur), yaitu hutang manusia kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), hutang kepada para Rsi/Wipra dan hutang manusi  kepada leluhur/ Kawitan.
Merajan atau sanggah adalah tempat suci untuk memuliakan arwah suci para leluhur terutama bagi masyarakat Hindu di Bali disebut Merajan atau Sanggah. Di lihat dari istilah kedua kata itu berasal dari bahasa sansekerta, yaitu raja yang juga disebut rajan yang secara umum juga berarti raja, ialah sebutan atau gelar kepala pemerintahan dari suatu system pemerintahan kerajaan dan merupakan jabatan yang mulai atau dimuliakan.



4 komentar:

Ngurah Pepenk mengatakan...

NICE posting yuk

madue logo sri nararya kresna kepakisan
size ageng?
jagi makarya kaos ngaben

baliku mengatakan...

corel angge nempe rah pepeng,scan dumun hehehehe

ikadeksriana mengatakan...

apakah ada mengetahui hubungan warga tutuan dengan sri aji kresna kepakisan?

Rah Dadoes mengatakan...

Ngantos mangkin tiang blm pas tahu antara,,
**Arya kresna kepakisan
**Shri nararya kepakisan
**Sri aji kresna kepakisan(sebagaimana tertulis dipedarman besakih)

mudah2an ada yg memberi penjelasan sejarahnya

Posting Komentar