BAB I
1.1 BABAD ARYA KRESNA KEPAKISAN
Nama Arya Kresna Kepakisan dalam beberapa babad sering
ditulis Kepakisan saja tanpa Kresna. Mungkin para penulis tersebut, ragu,
betulkah nama “Arya Kepakisan” itu
adalah Arya Kresna Kepakisan? Atau
mungkin pula untuk membedakan dengan nama Dalem Kresna Kepakisan yang
mempergunakan kata Kresna juga, maka ditulis tanpa disertai kata “Kresna”.
Kata
“Kresna” pada nama Arya Kresna Kepakisan, menipakan ciri bahwa beliau itu
keturunan raja Airlangga. Dinasti Airlangga adalah penganut agama Hindu
Waisnawa, memuja dan menyembah Dewa Wisnu sebagai Dewa tertinggi di samping
Dewa Siwa dan Brahma serta Dewa lainnya. Dewa Wisnu yang berfungsi sebagai Dewa
Sthiti, DewaPemelihara, akan selalu turuntangan langsung bila ada kekacauan
yang mengancam keberadaan umat manusia di marcapada ini. Untuk mempermudah
tugasnya, Dewa Wisnu ketika turun ke bumi, beliau menjelma sebagai awatara.
Diantara awatara Dewa Wisnu yang paling terkenal adalah Bathara Kresna. Beliau
turun ke mercapada untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran tatkala
timbul pertikaian antara Keluarga Pandawa dengan Keluarga Kaurawa. Bathara
Kresna turun untuk menyelamatkan umat manusia dan jagat raya dari kehancuran.
Dipercaya oleh masyarakat bahwa Prabu Airlangga adalah titisan Dewa Wisnu,
sebagai Bhatara Kresna yang turun ke dunia ini untuk menyejahterakan umat
manusia. Karena itu Prabu Airlangga dipuja sebagai Bhatara Wisnu, Sang Hyang
Hari, Bhatara Kresna, dengan wahana kesayangannya berupa burung garuda. Beliau
selalu dilukis atau dibuatkan patung dalam bentuk Dewa Wisnu atau Bathara
Kresna dengan wahana burung garuda. Lukisan Garda Wisnu merupakan lambang kerajaan.
Prabu Airlangga dianggap sebagai penurun wangsa Wisnu, Wisnwangsa purwakam krtam di bumi ini. Itulah salah satu alasannya,
mengapa salah seorang keturunannya mempergunakan nama “Kresna”, yakni Arya
Kresna Kepakisan, untuk menegakkan kedamaian, keamanan serta kesejahteraan di
jagat ini.
Sedangkan nama “Kepakisan” merupakan nama tempat asal beliau
dilahirkan, yaitu desa Pakis. Pakis berarti juga paku. Ibu Dang Hyang
Kepakisan, leluhur Dalem Kresna Kepakisan berasal dari treh Aryeng Kadiri,
leluhur Arya Kresna Kepakisan. Mungkin karena itu beliau memakai juga nama “Kepakisan”.
Jadi, bila ditinjau dari asal-usul kekerabatan, maka antara Sri Kresna
Kepakisan dengan Arya Kresna Kepakisan masih satu darah keturunan dilihat dari
garis pihak ibu. Garis pradhana. Kebetulan atau memang disengaja oleh Mahapatih
Gajah Mada yang terkenal bijak dan pintar itu, untuk memilih Sri Aji Kresna
Kepakisan sebagai raja dan Arya Kresna Kepakisan sebagai mahapatih di kerajaan
Bali. Keduanya, sebagai dwi tunggal didudukkan dan ditancapkan di Bali Dwipa
sebagai paku atau pakis jagat, untuk melanggengkan kemahakuasaan kerajaan
Majapahit.
Arya
Kresna Kepakisan adalah putra dari Sirarya Aryeng Kadiri, raja muda
kerajaan Kediri di Jawa Timur, keturunan Raja Airlangga. Sirarya ini adalah
putra dari Sri Aji Jayasabha.
Sedangkan Raja Airlangga adalah putra kesayangan raja Bali, Sri Dharmodayana Warmadewa yang lebih
dikenal dengan sebutan Raja Udayana.
Permaisuri Raja Udayana ini adalah Gunapriya
Dharmapatni, adik raja Sri Aji Dharmawangsa
di Jawa Timur. Karena raja Jawa ini tidak mempunyai putra mahkota, maka diminta
kemenakannya, Sri Aji Airlangga untuk menggantikannya menjadi raja Kahuripan di
Jawa Timur. Setelah dikawinkan dengan putri raja sebagai suatu persyaratan,
beliau diangkat menjadi raja Kahuripan di Jawa ini. Beliau memerintah pada
tahun 1019 - 1042. Sedangkan adik Prabu Airlangga, Sri Aji Marakata dan kemudian Sri
Aji Anak Wungsu menjadi raja di Bali.
Pada th.1293 kerajaan Kediri dari dinasti Airlangga itu,
waktu itu dibawah pemerintahan raja Sri
Aji Jayakatong, ditaklukkan oleh Sri
Aji Arsawijaya, terkenal dengan nama Raden Wijaya, dari kerajaan Majapahit.
Karena kalah, maka derajat rajanya, mulai dari Sri Aji Jayasabha diturunkan
dari raja menjadi raja muda atau adipati. Gelar yang semula Sri Aji diubah
menjadi Demak Kearyan, yaitu Aryeng, Sirarya, Nararya atau Arya, bukan Sri Aji
lagi. Itulah sebabnya semua keturunan Prabu Airlangga sejak saat itu
bergelarArya, tidak terkecuali Arya Kresna Kepakisan, putra Aryeng Kadiri. Beliau
inilah yang dipilih oleh Mahapatih Gajah Mada untuk memimpin ekspedisi pasukan
Majapahit pada th 1352 ke Bali. Tugas pasukan khusus ini adalah untuk menumpas
pemberontakan yang menentang pemerintahan Raja Dalem Kresna Kepakisan, yang telah
dinobatkan oleh Raja Majapahit pada th.1350 sebagai Raja Bali.
1.2 PERTEMPURAN DI BUKIT PEGAT
Tidak banyak dapat diketahui dari catatan beberapa babad,
baik babad Mengwi, babad Dalem, Pemancanggah, geguritan atau sumber lainnya,
maupun dari buku tentang bagaimana sebenamya pertempuran di Bukit Pegat antara
I Gusti Kaler Pacekan dengan I Gusti Agung Maruti. Hanya ditulis bahwa I Gusti
Kaler Pacekan gugur di tangan I Gusti Agung Maruti di Bukit Pegat. Karena itu,
kisah gugurnya I Gusti Kaler Pacekan hanya dapat digali dari cerita rakyat,
yang dituturkan turun-temurun di desa Lengkayan Kutuh. Cerita ini dapat
dipercaya kebenarannya, berdasarkan beberapa bukti yang ada, seperti pradma dan
palinggih I Gusti Kaler Pacekan yang masih ada sampai sekarang di pura Sang
Tengah di desa Lengkayan Kutuh, Kecamatan Kintamani, Bangli.
Menurut ceritra dari mulut ke mulut di masyarakat Lengkayan
Kutuh, yang merupakan perbatasan antara daerah Buleleng timur dan Bangli, I
Gusti Kaler Pacekan pernah berada di daerah ini. Beliau beserta keluarganya dan
para pengiringnya menetap di desa ini. Dikatakan bahwa badan fisik beliau
tinggi besar dengan kumis dan jenggot yang amat lebat, brewok. Walaupun
penampilan fisiknya demikian, temyata beliau amat ramah, bijak dan berwibawa.
Masyarakat Lengkayan Kutuh amat senang, apalagi beliau mau menetap di daerah
tersebut.
Tidak beberapa lama kemudian, keberadaan I Gusti Kaler
Pacekan, ternyata diketahui oleh I Gusti Agung Maruti. Maka dikerahkanlah
sebuah pasukan khusus yang dipimpin oleh I Gusti Agung Maruti sendiri untuk
mengejar I Gusti Kaler Pacekan. I Gusti Kaler Pacekan beserta keluarga dan
prajurit setianya terdesak dan mundur ke arah perbukitan yang masih ditumbuhi
pohon yang besar-besar sehingga merupakan hutan lebat, yang letaknya di sebelah
utara desa. Untuk menghambat pengejaran musuh, menurut legenda, diputuskanlah
bukit tersebut menjadi dua bagian, mempergunakan keris Ki Sekar Gadung.
Seketika itu, karena kesaktian keris itu, bukit ini terbelah seperti diiris
dengan pisau. Sejak itu wilayah di bukit tersebut dinamai Bukit Pegat. Ternyata
usaha memegat bukit hanya menghambat kemajuan musuh untuk sementara. Pasukan I
Gusti Agung Maruti dengan pelan tetapi pasti terus maju dan dapat melaluinya.
Pertempuran tidak dapat dielakkan, tedadilah pertempuran yang amat seru. Setiap
orang berusaha untuk membunuh musuhnya. I Gusti Kaler Pacekan bersenjatakan Ki
Sekar Gadung dan Ki Panglipur melakukan perang tanding dengan I Gusti Agung
Maruti yang memegang senjata Ki Bintang Kukus. Dalam perang ini akhimya I Gusti
Kaler Pacekan tewas. Beliau gugur secara ksatria dalam peperangan yang adil.
Sebelum gugur, melihat situasi yang tidak menguntungkan, I
Gusti Kaler Pacekan memerintahkan kepada istri dan putra-putrinya untuk menyelamatkan
diri. Semula mereka menolak ingin gugur bersama. Tetapi dengan tegas I Gusti
Kaler memerintahkan agar keputusan dan perintah ini ditaati. Jika tidak
menghiraukan perintah ini, dianggap “langgia”
atau durhaka terhadap beliau. Maka dengan berat hati, setelah menghaturkan
sembah bhakti, sebagai penghormatan terakhir, masing-masing istri dan putra
beliau berusaha menyelamatkan diri, menyebar ke seluruh pelosok Bali. Di
tempatnya yang baru, kebanyakan dari mereka ini “nyerodang wangsa” untuk menutupi
identitas yang sebenarnya, sebagai keturunan I Gusti Kaler Pacekan.
Bagaimana nasib jenazah I Gusti Kaler Pacekan? Kebanyakan
masyarakat Lengkayan Kutuh yakin bahwa layon I Gusti Kaler Pacekan telah “moksa”
atau gugur tanpa layon. Pernyataan ini keluar karena tidak diketemukannya
jenazah beliau di tempat bekas pertempuran. Kemungkinan besar layon I Gusti
Kaler Pacekan jatuh atau dibuang ke jurang yang ada di sekitar bukit atau telah
dibakar oleh I Gusti Agung Maruti dan kemudian abunya di bawa, sehingga
masyarakat tidak menemukan apa-apa. Sebagai sesama treh, pratisentana atau
tosning Arya Kresna Kepakisan, yang pernah bahu membahu ketika menghadapi
serangan pasukan musuh di Gelgel, kemudian merasakan pahit getirnya dikejar
musuh, lari dan bersembunyi di Jimbaran, tentu rasa hiba dan kesadaran timbul
di dalam hati I Gusti Agung Maruti. Buat apa saling membunuh? Kalau hasilnya
seperti ini? Akankah menambah keharuman nama dan kemashuran dengan membunuh
sesama saudara seketurunan? Penyesalan yang sudah terlambat! Kedua kerisnya, Ki
Sekar Gadung dan Ki Panglipur diambil oleh I Gusti Agung Maruti, walaupun ada,
yang mengatakan bahwa kedua keris itupun ikut lenyap secara, gaib di Bukit
Pegat.
Untuk menghormati I Gusti Kaler Pacekan, masyarakat Lengkayan
Kutuh mensthanakan atau malinggihkan atman beliau sebagai Dewa Pitara di Pura
Dang Kahyangan Sang Tengah, di puncak Bukit Pegat tempat pertempuram Sampai
sekarang palmggih I Gusti Kaler Pacekan di Pura Sang Tengah masih tetap ada dan
dihormati.
Sedangkan mengenai nama Bukit Pegat, yang terjadi akibat bukit
dibelah dua oleh I Gusti Kaler Pacekan dengan memakai keris Ki Sekar Gadung,
mungkin nama ini sebagai nama simbolis. Hal ini dapat disamakan dengan nama
Bale Pegat yang ada di halaman depan Pura Besakih. Bale ini bukanlah balai yang
terbelah dua, tetapi tempat pernercikan tirtha untuk menghapus mala, memutus
atau memegat keletehan para pemedek yang dibawa dari jaba pura ketika akan memasuki
jeroan pura Besakih. Jadi memutus atau memegat keletehan umat yang akan
bersembahyang dengan air tirtha sehingga muncul kesucian. Demikian pula dengan
nama Bukit Pegat di Lengkayan Kutuh. Di sinilah dipegat atau diputus hubungan
antara atman dengan raga saria, dipegat atman I Gusti Kaler Pacekan sehingga
meninggalkan badan raganya. (Catatan: secara nyata memang di sekitar gunung
tersebut telah ada jurang yang tebingnya tegak lurus seperti tanah yang diiris
pisau atau keris).
I Gusti Agung Maruti kemudian kembali ke Kuramas. Putra
sulung beliau I Gusti Agung Putu diangkat sebagai penguasa Kuramas. Sedangkan
putra yang bungsu, I Gusti Agung Anom alias I Gusti Agung Made Agung, menjadi
penguasa, di Mengwi. Putra raja Mengwi ini yang bernama I Gusti Agung Putu
Agung terkenal dengan sebutan Cokorda Sakti Blambangan, karena mampu
menaklukkan daerah Blambangan di Jawa Timur. Keturunan beliau ada pula yang
menjadi penguasa di Jembrana, I Gusti Ngurah Sloka di puri Gede Jembrana.
Putra, I Gusti Agung Maruti yang kedua, seorang putri bemama I Gusti Istri Ayu
Made tinggal bersama kakaknya di Kuramas. Tidak selang berapa lama putri ini
terkena penyakit jiwa. Telah diusahakan diobati dengan berbagai cara, tetapi
tidak kunjung sembuh. Oleh sebab itu untuk pengobatan selanjutnya putri ini
diserahkan kepada adiknya di Mengwi, agar dapat berobat pada Pedanda Wanasara.
Setelah agak sembuh, oleh I Gusti Agung Anom putri ini diserahkan kepada
Pedanda Wanasara, untuk dikawini, tanpa persetujuan kakaknya di Kuramas.
Mendengar adiknya dikawinkan dengan Pedanda Wanasara, I Gusti Agung Putu di
Kuramas amat marah. Pedanda Wanasara, dibunuh dan I Gusti Istri Ayu di bawa ke
Kuramas. Sebelum Pedanda Wanasara, meninggal, konon beliau mengeluarkan kutukan
agar I Gusti Agung Putu dan I Gusti Agung Anom tidak mempunyai keturunan,
menderita sakit ingatan dan tidak pemah menjadi raja lagi. Itulah kisah I Gusti
Agung Maruti dengan keturunannya di Kuramas Gianyar dan di Mengwi Badung.
1.3 Putra-Putra I GUSTI KALER PACEKAN
Konon, ketika I Gusti Kaler Pacekan tahu akan tamat
riwayatnya ditangan Agung Maruti di Bukit Pegat, Kutuh, Bangli, maka istri
beserta putra-putranya yang telah dewasa bersama keluarganya disuruh
menyelamatkan diri. Menyebar sendiri-sendiri ke seluruh Bali. I Gusti Den Tembok
menuju ke daerah Tabanan. Seterusnya beliau menetap di Jelahe atau Jelai. I
Gusti Kapaon mengungsi ke wilayah Buleleng bagian barat. Kemudian menetap di
desa Kayuputih. I Gusti Alit Kaler menuju ke daerah Mengwi, dan selanjutnya
menetap di desa Umabyan. I Gusti Tajeran menuju ke wilayah Karangasem, kemudian
ke Buleleng dan Tabanan. Ada pula yang mengatakan bahwa I Gusti Tajeran bersama
dengan adiknya I Gusti Kepaon menuju ke Buleleng barat. Sedangkan I Gusti Poh
Gading kemudian kembali ke Gelgel, karena telah diampuni oleh Dalem. Dan istri
I Gusti Kaler yang sedang hamil, bersembunyi di sebelah barat Bukit Pegat, di
Palasan Taman Sari, Madenan, Buleleng. Dari istri ini lahir I Gusti Manik Galih
yang menetap di desa Madenan, Buleleng. Demikianlah kisah yang dapat dihimpun
tentang beberapa putra beserta keluarga dari I Gusti Kaler Pacekan. Sedangkan
kisah putra-putra I Gusti Kaler Pacekan yang lain masih dalam penelusuran dan
pelacakan.
1.4 I GUSTI MANIK GALIH
Salah seorang istri I Gusti Kaler Pacekan yang bernama I
Gusti Ayu Surung karena sedang hamil, tidak mampu berjalan lebih jauh lagi ke
arah barat. Beliau bersama pengiringnya bersembunyi di sebuah lembah yang masih
lebat hutannya, yang sekarang dikenal dengan nama Taman Sari. Di tempat ini kemudian didirikan pura oleh keluarga
Alit Mendala sebagai kenangan tempat leluhurnya pernah bersembunyi, diantara
desa Kutuh dan Madenan, sebelah barat dari Bukit Pegat. Selang beberapa bulan, diperkirakan
keadaan sudah aman, maka beliau pindah menuju ke desa Madenan. Desa ini
sekarang masuk Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Di desa ini beliau
berdiam di rumah penduduk Madenan yang bernama I Jelantik. Tidak lama kemudian
lahirlah seorang bayi laki-laki dari rahim I Gusti Ayu Surung yang diberi nama
I Gusti Manik Galih. Semenjak melahirkan ini beliau dijuluki I Gusti Ayu Manik.
Setelah dewasa dan beristri, I Gusti Manik Galih berputra
seorang laki-laki yang cerdas dan cekatan diberi nama I Gusti Alit Mendala.
Rupanya I Gusti Alit Mendala ini tidak betah diam di Madenan. Pada waktu itu
desa Madenan masih dikelilingi hutan lebat. Belum ada jalan raya. Desa ini
letaknya agak terpencil dari desa lainnya. Untuk berhubungan dengan desa luar
agak sulit. Beliau menyadari bahwa untuk maju tidak mungkin terus tinggal di
desa ini. Beliau melihat sesuatu yang lebih memungkinkan untuk hidup lebih
berkembang dan maju. Maka diputuskanlah untuk pindah ke daerah pesisir, dekat
pantai. Karena dipantai lebih banyak kemungkinan untuk hidup dan berhubungan
dengan desa lainnya. Setelah ditinjau dan direnungkan maka pilihannya jatuh pada
desa Bondalem. Desa ini terletak 8 km di sebelah utara desa Madenan, dekat
pantai. Untuk tempat tinggalnya di desa Bondalem, beliau memilih tempat di
bagian kaja kauh desa, yang kemudian dikenal dengan sebutan Jero Kaleran.
Sebagai penunjang hidup beliau bertani. Lahan yang dipilih adalah daerah
Suksuk, tanah subur yang berada di sepanjang sungai atau tukad Puana. Daerah
ini berbatasan dengan desa Julah yang ada di sebelah baratnya.Ternyata pilihan
lahan ini amat tepat. Berbagai komoditi pertanian dikembangkan. Jagung,
tembakau, papaya, mangga dan jeruk.
Itulah sekelumit babad, silsilah, legenda, mitos dan cerita
serta interpestasi sekitar pratisentana I Gusti Alit Mandala keturunan I Gusti
Kaler PAcekan yang bermukim di desa Bondalem.
BAB II
2.1 Pengertian Merajan
Merajan
atau sanggah adalah tempat suci untuk
memuliakan arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang sudah tiada dan
berada di alam baka (sunia loka) bagi masyarakat Hindu di Bali disebut Merajan
atau Sanggah. Di lihat dari istilah kedua kata itu berasaldari bahasa sansekerta,
yaitu raja yang juga disebut rajan yang secara umum juga berarti raja, ialah
sebutan atau gelar kepala pemerintahan dari suatu system pemerintahan kerajaan
dan merupakan jabatan yang mulai atau dimuliakan. Timbul tradisi dan kebiasaan
bilamana menyebut sorang raja didahului dengan kata penghormatan seperti misalnya dengan kata yang mulia. Kata
rajan dalam bahasa sansekerta kemudian memperoleh awalan ma lalu menjadi
merajan yang bermakna tempat memuliakan dan memuja yang dalam hal ini untuk memuliakan
dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang sudah tiada.
Sedangkan kata sanggah berasar dari kata sanggar yang
secara harfiar berarti kuil atau sangga dalam kaitan kata anangga yang berarti
memegang tinggi juga dapat bermakna menjungjung atau memuja . jadi dengan
demikian sanggah berarti tempat suci untuk menjunjung tinggi atau memuja
leluhur dan isa sang hyang widhi wasa dalam berbagai prabawa atau
manifestasinya beliau.
Dengan demikian antara sanggah dan merajan memiliki arti
atau makna yang sama yakni tempat suci sebagai tempat pujaan kepada leluhur dan
ida sang hyang widi wasa.
2.2 Fungsi Sangggah/
Pamerajan
Berdasarkan
keyakinan umat Hindu di Bali, Sanggah/Pamerajan berfungsi sebagai:
a. Sebagai
tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widi Wasa dan para Leluhur/Kawitan
b. Sebagai
tempat berkumpul sanak keluarga dalam mempererat tali keluarga.
c. Sebagai
tempat kegiatan social/pendidikan yang berkaitan dengan Agama.
2.3
Beberapa pelinggih dalam merajan antara
lain
2.3.1 Kemulan Rong Tiga
Bangurtan suci yang
beruang (rong) tiga sebagai tempat pemujaan yang terdapat pada setiap rumah
tangga (Keluarga). Menurut seminar kesatuan tafsir tahun 1984, fungsi dari
Sanggah Kemulan/Rong Tiga adalah untuk memuja Tri Murti, Dewa Brahma berstana
di ruang kanan, Dewa Wisnu di ruang kiri dan di tengah berstanalah Dewa Siwa.
(Nurkancana, 1997:139 dan Wikarma, 1998:2). Menurut Lontar Gong Besi, Usana
Dewa dan Tattwa Kepatian yang berstana di Sanggah Kemulan/Rong Tiga adalah Sang
Hyang Tri Atma. Atma yang diidentikan dengan ayah (purusa) di ruang sebelah
kanan, Siwatma yang diidentikkan dengan ibu (pradana) di ruang sebelah kiri dan
Paramatma, tuhan yang maha tunggal di tengah. Dalam Lontar Purwa Bumi Kemulan,
memberikan penjabaran lebih lanjut tentang dimensi fungsional dari Sanggah
Kemulan/Rong Tiga sebagai menstanakan Dewa Pitara (leluhur). Dari sisi susila,
menstanakan Dewa Pitara pada Sanggah Kemulan adalah bermaksud mengabadikan roh
leluhur yang telah suci untuk selalu dipuja, memohon doa restu, dan
perlindungan.
Maksud dari pada
pembanguan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga tiada lain agar kita
selalu ingat dan memuja kebesaran Sang Hyang Widhi dalam kaitannya dengan
hutang yang disebut dengan Tri Rnam. Yang dimakasud dari Tri Rnam yaitu Tiga
Hutang. Tiga Hutang yang dimaksud yaitu:
1.
Kepada Sang Hyang Widhi Wasa, sebagai pencipta yang telah memberi
kesehatan dan keselamatan dengan segala kebutuhan hidup kita.
2.
Hutang kita kepada leluhur, terutama ibu dan bapak yang telah membesarkan
kita, hingga menjadi dewasa.
3.
Hutang kita kepada para Rsi yang telah berjasa mengajarkan kepada kita
mengenai agama, kebudayaan dan lain-lain.
Demikian maksud dari
pembuatan pelinggih Rong Tiga dalam lingkungan keluarga sebagai anggota
masyarakat terkecil agar kita selalu ingat kepada Tri Rnam itu, yang merupakan
Yajna dalam kehidupan sehari-hari (Soeka, 1993:10).
Sedangkan ditinjau dari
aspek Etika adalah kewajiban (swadharma) dari keturunan atau pretisentana untuk
selalu memuja leluhur. Konsep pemujaan leluhur yang dilakukan oleh Umat Hindu
di Indonesia khususnya di Bali adalah bersumber dari ajaran Agama Hindu yang
lazim disebut dengan Sraddha (Swastika, 2007:24).
Fungsi
Sanggah Kemulan
1.
Tempat Pemujaan Ida Hyang Widdhi
Dimuka sudah dijelaskan, bahwa pengertian Hyang Kamulan, adalah
Sanghyang Tri Atma yang panunggalannya adalah Hyang Tuduh atau Hyang Tunggal.
Sanghyang Tri Atma yakni : Atma, Sivatma dan Paratma adalah Tuhan, dalam
manifestasinya sebagai Roh. Menurut sistim Yoga, Ia adalah identik dengan Tri
Purusa (Siva, Sadasiva dan Paramasiva) menurut filsafat Siva Sidhanta dan
sesuai pula dengan Brahma, Visnu, Isvara. Ia juga sesuai dengan fungsi Siva
sebagai Guru. Oleh karenanya Hyang Kamulan adalah juga Bhatara Guru, yang
berdimensi tiga pula, yaitu Guru Purwam (Paramasiva), Guru Madyam (Sadasiva)
dan Guru Rupam (Siva). Jadi dengan demikian sesungguhnya yang dipuja pada
Sanggah Kamulan adalah Ida Hyang Widhi dalam wujud sebagai Sanghyang Tri Atma,
Sanghyang Tri Purusa (Bhatara Guru) dan Sanghyang Tri Murti.
2.
Tempat Memuja Leluhur
Dalam lontar Purwabhumi kamulan dinyatakan bahwa Sanggah
Kamulan adalah tempat Ngunggahang Dewapitara,
“… iti kramaning anggunggahaken
pitra ring kamulan …”
(Rontal
Purwabhumi Kamulan, lembar 53).
Ngunggahang
Dewapitara pada kamulan dimaksudkan adalah untuk “melinggihkan” atau
mensthanakan” dewa pitara itu.
Yang dimaksud dengan dewa pitara adalah : roh leluhur yang
telah suci, yang disucikan melalui proses upacara Pitra Yadnya, baik Sawa
Wedana maupun Atma Wedana.
Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah
mengandung maksud mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah suci)
kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat “irika mapisan lawan dewa Hyangnia
nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya,
yakni Sivatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). Hal ini adalah merupakan realisasi
dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan
paratma).
Pemikiran tersebut didasarkan atas aspek Jnana kanda dari
ajaran Agama Hindu.
Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada
Sanggah Kamulan, adalah bermaksud mengabdikan/melinggihkan roh leluhur yang
telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu akan dipuja, mohon doa restu dan
perlindungan.
Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma
yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti
dinyatakan dalam rontal :
“… iti kramaning ngunggahakan pitra
ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa wales,
dinanya, sawulan pitung dinanya…”.
Artinya
:
“…
Ini perihalnya menaikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau
mamukur, pada dua belas harinya, atau 42 harinya…”.
Jadi upacara ngalinggihang Dewapitara adalah merupakan
kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah
mencapai tingkatan dewa, sehingga disebut Dewapitara, maka upacara ini tidak
tergolong pitra yadnya lagi, melainkan tergolong Dewayadnya. Dari uraian di
atas itu, jelaslah bagi kita, bahwa Sanggah Kamulan disamping untuk memuja
Hyang Widhi, juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah menunggal dengan
sumbernya (Hyang Kamulan, atau Hyang Widdhi).
Sejarah Kemulan
Sanggah Kamulan, menurut Tattwanya, jelas bersumber dari
ajaran Hindu, aspek Jnana kanda dan etikanya. Aspek Jnana kanda adalah
bersumber dari sistim Yoga, Wedanta, Samkhya, dan Siva Sidhanta. Hal ini sudah
kita uraikan di muka, pada bab III.
Sedangkan latar belakang etiknya, adalah kewajiban
(swadharman) dari keturunan atau “pretisentana” untuk selalu memuja leluhurnya.
Konsep pemujaan leluhur yang dilakukan oleh umat Hindi di Indonesia khususnya
Bali adalah bersumber dari ajaran agama Hindu. Pustaka suci agama Hindu banyak
sekali menguraikan tata cara pemuhaan leluhur, yang lazim disebut “sraddha”.
Dalam buku Griha Sutra, disebutkan bahwa pada setiap rumah
tangga Hindu, terdapat tempat pemujaan leluhur yang disebut “Wastospati”.
Upacara pemujaannya disebut “pinda pitara yajna”.
Alam Dharmasastra, tatacara pemujaan leluhur dengan panjang
lebar diuraikan pada bab III. Demikian juga pada buku-buku Purana cerita
Itihasa, baik Ramayana maupun Mahabarata.
Dengan adanya data-data pasti tentang adanya konsep pemujaan
leluhur dalam ajaran Agama Hindu, ini berarti pendapat para pakar kepurbakalaan
tentang pemujaan leluhur dalam masyarakat Hindu di Bali, yang dikatakan
bersumber dari konsep pemikiran pra Hindu dapat di kesampingkan.
Jadi dengan demikian adanya Sanggah Kamulan sebagai tempat
leluhur, dalam rumah tangga di Bali, adalah setua masuknya Agama Hindu di
Indonesia.
Sedangkan kata “Kamulan” itu sendiri, sebagai sebutan tempat
suci, telah disebut-sebut dalam Prasasti Sri Kahulunan pada tahun 842 AD yang
kutipan kalimatnya sebagai berikut :
“Tatkala Sri Kahulunan manusuk warna I
trupurussan watak kahulunan simaning kamulan bhumi sembara”.
(Wikarman,
1998 : 22)
Kamulan
bhumi sambara dimaksudkan adalah candi Borobudur, yang menurut De Casparis
merupakan pemujaan 14 tingkat leluhur dari raja Cailendra.
Nama Kamulan sebagai tempat suci juga kita dapati dalam
prasasti Siman A-126 yang menyebutkan “Sanghyang Dharma Kamulan i paradah”.
Demikian juga dalam prasasti Klungkung A-439 ada juga disebut Kamulan. Bangunan
tempat suci yang bernama kamulan telah ada kurang lebih 1.000 tahun yang lalu.
Di Bali sebagai pemujaan dalam setiap rumah tangga digariskan dalam lontar
Sivagama. Diperkirakan lontar tersebut adalah merupakan ajaran Mpu Kuturan.
Jadi dengan demikian dapat diperkirakan Mpu Kutuanlah yang mengajarkan agar
setiap karang perumahan bagi umat Hindu di Bali, didirikan Sanggah Kamulan.
Pengastawa di Kemulan:
Ong dewa-dewa Tri
Dewanam
Tri Murti Tri Linggadmanem
Brahma Wisnu Maheswaram
Sarwa Jagat Jiwatmanam
Ong Guru Rupam Sadadnyanem
Guru Patanranam Dewam
Guru Nama Japet Sada
Nasti-nasti Dine-dine
Ong Gung Guru Paduke bionamah svaha
Demikianpula dengan sekta Bhairawa juga pernah berkembang
di Bali. Adapun bukti perkembangannya adalah adanya pemujaan Siwa dalam
wujudnya yang sangat hebat dan mengerikan yang disebut dengan nama
Dhurga. Sekta Bhairawa sering pula disebut dengan nama Tantrisme kiri Wamaskta.
Istilah lain yang sering dipergunakan untuk menyebutkan Tantrisme kiri adalah
Prawrti marga sebutan untuk membedakan dengan Tantrisme kanan yang disebut
Niwerti marga. Pemujaan Durgha di Bali juga dapat dilihat pada mantra Durgastawa,
yang juga digunakan oleh para pendeta di Bali. Sekta Bhairawa
ini juga terdapat di merajan yaitu adanya kemulan rong tiga yang merupakan Sang
Hyang Trimurti, sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai
Brahma-Wisnu-Siwa.
2.3.2
Taksu
Taksu adalah nama
sebuah pelinggih yang terdapat disamping Palinggih Kamulan Rong Tiga, Gedong
Siwa maupun Gedong Kawitan. Taksu berarti daya Magic atau Sakti. Sakti adalah
simbol daripada Bala atau Kekuatan (Swastika, 2007:19). Fungsi dari tempat suci
ini adalah untuk memohon kekuatan gaib untuk pekerjaan yang digeluti bagi siapa
yang mendirikan pelinggih tersebut. Di sisi lain, pelinggih ini juga
difungsikan sebagai tempat “transit” Ida Bhatara ketika diadakan piodalan.
Pelinggih Taksu kadang-kadang disebut juga “Pecelang” yang khusus menerima, mengatur dan menempatkan
Para dewa yang dianggap sebagai tamu yang turut menyaksikan jalannya upacara pujawali
terkait dengan pengaruh sekte menurut analisis saya, ada kemiripan fungsi pelinggih
Taksu dengan Ista Dewata dari sekte Sakta di India, sekte yang memuja aspek
feminim tuhan (Sakti/kekuatan). Menurut Dr. Goris dan Lontar Purana Bali Dwipa,
tidak menyebutkan adanya sekte Sakta di Bali, tapi berdasarkan fungsi Pelinggih
Taksu saya berasumsi bahwa ada benang merah terhadap fenomena ini, sehingga
perlu diadakan penelitian ilmiah lebih lanjut untuk mengetahui korelasi ini.
Dapat dikatakan fungsi Taksu adalah pemujaan
kepada Sakti dari Hyang Widhi, sehingga lengkaplah pemujaan kita kepada Hyang
Widhi sebagai Purusa dan Hyang Widhi sebagai Cakti atau Pradana. Dalam
perkembangannya Taksu berfungsi untuk memohon kesidiian atau keberhasilan untuk
semua jenis profesi baik sebagai seniman, petani, pedagang peminpin masyarakat
dan sebagainya. (Goggle:2012:1:26 PM)
Wastra yang di gunakan di pelinggih
Taksu adalah saput poleng. Makna filosofis Saput poleng merupakan refleksi dari
kehidupan kita yaitu baik dan buruk yang dalam Hindu dikenal dengan
istilah RwaBhineda adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih,
baik-buruk, atas-bawah, suka-duka dan sebagainya. Intinya mkana dari saput
poleng ini adalah menandakankeseimbangan yang ada di alam ini.
Banten yang di gunakan dalam
pelinggih taksu adalah:
Alasnya tamas/taledan atau
ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat,
rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik,
sampyan palus/petangas, canang sari.
Ketupat
Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau
teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia.
Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
Pengastawa Pelinggih Taksu:
Ong, Ang,
Ang, Ang Sang kala raja bionamah swaha
Ong Kling,
Kling Kling Sang Butha raja bionamah swaha
2.3.3
Bhatara Sami
Pelinggih yang berjejer
dari kiri ke kanan kesemuanya itu dinamakan Bhatara Sami. Bhatara Sami yang
disebut dengan Sanggah Jajaran Kemiri. Dua pelinggih yang didamping pelinggih
Surya yang berbentuk Padmasana itu yang disebut dengan bagian dari Sanggah
Jajaran Kemiri. Kemudian Padmasana itu merupakan tempat berstananya Bhatara
Surya (Sekte Sora). Untuk disebelahnya Padmasana yang dinamakan pelinggih
Penataran Agung, kemudian disampingnya Batukaru, Uluwatu, pelinggih Mas Pahit yang
ada Menjangannya. Yang berawal dari kedatangan Mpu Kuturan.
2.3.4
Padmasari/Padmasana
Padmasari atau
Padmasana: Bangunan ini ditempatkan di tenggara mengarah ke barat laut.
Pelinggih ini tempat pemujaan Hyang Siwa Raditya (Hyang Widhi Wasa). Hal ini
ditandai dengan bagian atasnya dibuat terbuka dan pada tabingnya mahkota
dipahatkan lukisan gambar Hyang Acintya. Ini merupakan konsep pemujaan kepada
Siwa yang bergelar Hyang Siwa Raditya.
Jika di hubungkan ke
dalam Sekta sivasiddhanta. Keberadaan sekta Sora di Bali dibuktikan
dengan adanya pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang utama. Sistem
pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari
terbit dan matahari terbenam adalah ciri penganut sekta Sora. Selain itu yang
lebih jelas lagi adalah setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan
terhadap dewa Surya sebagai dewa yang memberikan suatu perasaksianbahwa
seseorang telah melakukan yadnya. Dalam merajan ada padmasana yang
merupakan stana dari Sanghyang Siva Raditya, Bhatara Guru, Bhatara Surya dan
Sanhyang Tri Purusa yang merupakan manifestasi dari Siva.
dapat disimpulkan dalam konsep Padmasana atau
Padmasari ini merupakan mendapatkan pengaruh sekta Siwa Siddhanta.
2.3.5
Sri Sedana/Rambut Sedana
Palinggih ini merupakan
stana Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sedana atau Limascatu yaitu Sakti (kekuatan)
dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia.
2.3.6
Manjangan Salwang
Palinggih ini merupakan
stana dari Mpu Kuturan dengan bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna
agama Hindu di bali abad ke-10, bentuk palinggih ini berisi kepala menjangan
lengkap dengan tanduknya.
Makna dari bangunan
suci tersebut adalah untuk meningkatkan kepercayaan dan keyakinan terhadap
keberadaan Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya melalui bangunan suci yang
ada dipemerajan.
Penjelasan :
a.
Bangunanbertiang lima buah mengandung
simbul Panca Rsi.
b.
Kepala Menjangan mengandung maksud Sang
Putus atau Maha Rsi.
c.
Binatang menjangan bertanduk
bercabang-cabang mengandung maksud
kekuasaan kerajaan Majapahit.
Kesimpulan :
Ada lima Maharsi dari Majapahit yang pernah datang ke
Bali untuk menata kembali masyarakat Bali baik dibidang fisik maupun spiritual.
Pangastawa pelinggih
Ratu Ayu Mas Majapahit (Manjangan Salwang)
Ong Hyang, Hyang jeng Sang Hyang
Panca Rsi maha sidhi yenamah swaha
2.3.7
Balai Paruman
Bali ini merupakan
stana bhatara dan bhatari ketika dipersembahkan piodalan atau ayaban jangkep
(harum-haruman). Sering juga disebut sebagai bale piasan (pahyasan) karena
pralingga-pralingga dihiasi ketika dilinggihkan disini.
2.3.8
Pengapit Lawang
Pengapit lawang yaitu dua
buah palinggih disebelah kiri dan kanan yang merupakan stana dari Bhatara Kalla
dengan bhhiseka jaga-jaga yang bertugas sebagai pecalang.
2.3.9
Bale Piyasan
Bale piasan disini biasanya
dipergunakan sebagai tempat mengaturkan banten soda atau mengaturkan sesajen
yang di persembahkan kepada para leluhur yang telah suci atau telah di Aben.
Bentuk bangunan ini segi empat panjang memakai tiang bangunan empat buah, ada juga yang memakai enam buah tiang sesuai dengan besar kecilnya bangunan. Piasan berasal dari kata Pehiasan artinya tempat menghias atau merangkai simbul, seperti daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci dan tempat upakara yang akan dipersembahkan. Manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana pada bangunan ini adalah “ Sang Hyang Wenang”. Dari kata wenang yang artinya segala manifestasi Sang Hyang Widhi bisa distanakan pada bangunan piasan.
Bentuk bangunan ini segi empat panjang memakai tiang bangunan empat buah, ada juga yang memakai enam buah tiang sesuai dengan besar kecilnya bangunan. Piasan berasal dari kata Pehiasan artinya tempat menghias atau merangkai simbul, seperti daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci dan tempat upakara yang akan dipersembahkan. Manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana pada bangunan ini adalah “ Sang Hyang Wenang”. Dari kata wenang yang artinya segala manifestasi Sang Hyang Widhi bisa distanakan pada bangunan piasan.
2.3.1 Bale Pengaturan
Bale pengaturan disini berfungsi
sebagai tempat untuk menaruh banten atau segala sarana upacara persambahyangan
yang akan di aturkan pada saat piodalan. Maka dari itu tempat ini disebut
dengan balai pengaturan. Selain tempat banten, balai pengaturan disini biasanya
dipergunakan oleh para pemangku untuk memimpin jalannya upacara yadnya yang di
lakukan di merajan.
2.3.11
Pelinggih Panca Dewata (Meru Tumpang Lima)
Meru
tumpang lima disini merupakan genah atau linggih Ida Sang Hyang Widhi, dimana
dalam hal ini pemujaan beliau merupakan manifestasinya sebagai Panca Dewata.
2.3.12
Gedong Ratu Niang
Gedong ratu niang disini merupakan
tempat penyimpanan rangda, atau biasa disebut dengan nama Ratu niang. Rangda
disini sangat disakralkan dan biasanya mesolah (dimainkan) pada saat odalan di
merajan ini. Ratu niang disini dipercaya sebagai nenetral hal-hal yang negatif,
dan sebagai pemberi perlindungan.
BAB
III
3.1
Simpulan
Keharusan mengetahui asal-usul bagi
penganut Hindu di Bali, tidak dapat di pungkiri lagi. Hal ini berkaitan dengan
pengalaman Agama Hindu yang di anut oleh Umat Hindu Bali mengharuskan
dilakukannya suatu kewajiban suci berupa yadnya yang di sebut Pitra Puja atau
Pitra Yadnya, salah satu dari lima kewajiban yang disebut Panca Yadnya adalah
merupakan penjabaran dari ajaran Tri Rnam (hutang kepada tiga unsur), yaitu
hutang manusia kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), hutang kepada para
Rsi/Wipra dan hutang manusi kepada
leluhur/ Kawitan.
Merajan atau sanggah adalah tempat
suci untuk memuliakan arwah suci para leluhur terutama bagi masyarakat Hindu di
Bali disebut Merajan atau Sanggah. Di lihat dari istilah kedua kata itu berasal
dari bahasa sansekerta, yaitu raja yang juga disebut rajan yang secara umum
juga berarti raja, ialah sebutan atau gelar kepala pemerintahan dari suatu
system pemerintahan kerajaan dan merupakan jabatan yang mulai atau dimuliakan.
4 komentar:
NICE posting yuk
madue logo sri nararya kresna kepakisan
size ageng?
jagi makarya kaos ngaben
corel angge nempe rah pepeng,scan dumun hehehehe
apakah ada mengetahui hubungan warga tutuan dengan sri aji kresna kepakisan?
Ngantos mangkin tiang blm pas tahu antara,,
**Arya kresna kepakisan
**Shri nararya kepakisan
**Sri aji kresna kepakisan(sebagaimana tertulis dipedarman besakih)
mudah2an ada yg memberi penjelasan sejarahnya
Posting Komentar