BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Teori Belajar Behavioristik
2.1.1 Menurut Tokoh-tokoh Aliran Teori Behavioristik
Tokoh-tokoh yang menganut aliran Teori
Behavioristik antara lain yaitu Thorndike, Watson, Pavlov, Clark Hull, Edwin
Guthrie, Skinner.
1.
Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar yaitu
proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yang dimaksud adalah apa
saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal yang ditangkap melalui alat indra. Sedangkan pada respon
yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar yang juga dapat
berupa tindakan/gerakan, pikiran, dan perasaan.
Thorndike juga mengemukakan
bahwa belajar merupakan kegiatan “mencoba
dan salah” (Trial and Error learning). Berdasarkan hasil penelitiannya,
Thorndike mengemukakan tiga hukum yaitu (a) hukum kesiapan (law of
readiness), yaitu keadaan yang berkaitan dengan kesenangan atau
ketidak senangan untuk dan dalam belajar, (b) hukum latihan (Law of exercise) yang berkenaan dengan
proses penguatan hubungan antara stimulus dan respons yang berkaitan yang
diperoleh peserta didik melalui praktek, (c) hukum pengaruh (law of effect), berkaitan dengan
penguatan dan pemutusan setiap hubungan antara stimulus dan respon melalui
tindakan. Dari sekian banyak penelitian yang dilakukannya, Thorndike lalu
menyimpulkan tentang pengaruh proses belajar tertentu terhadap proses belajar
berikutnya, yang dikenal dengan proses “transfer
of learning” atau perampatan proses belajar. Thorndike mengemukakan bahwa
latihan yang dilakukan dan proses belajar yang terjadi dalam mempelajari suatu
konsep akan membantu penguasaan atau proses belajar seseorang terhadap konsep
lain yang sejenis atau mirip.
2. Teori Belajar Menurut Watson.
Menurut Watson, stimulus dan respon
yang menjadi konsep dasar dalam teori perilaku pada umumnya, haruslah berbentuk
tingkah laku yang dapat diamati (observable)
dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia
menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan.
Watson tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu
penting, tetapi semua itu tidak dapat menjelaskan apkah seseorang telah belajar
atau belum karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni,
karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti
fisika dan biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu
sejauh mana dapat diamati dan dapat diukur. Asumsinya hanya dengan cara
demikianlah dapat diramalkan perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi setelah
seseorang melakukan tindak belajar. Tokoh aliran behavioristik cenderung tidak
memperhatikan hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti
perubahan mental terjadi ketika belajar, walaupun demikian mereka tetap
mengakui hal itu penting.
3.
Teori Belajar Menurut Pavlov
Teori Pavlov didasarkan pada reaksi
sistem tak terkondisi dalam diri seseorang, reaksi emosional yang dikontrol
oleh sistem urat syaraf otonom, serta gerak refleks setelah menerima stimulus
dari luar. Ada tiga parameter yang diperkenalkan Pavlov melalui teori Classical Conditioning yaitu penguatan,
penghilangan, pengembalian spontan. Menurut Pavlov, respon terkondisi yang
sederhana diperoleh melalui serangkaian penguatan yaitu tindak lanjut atau
penguatan yang terus berulang dari suatu stimulus terkondisi yang diikuti
stimulus tak terkondisi dan respon tak terkondisi pada interval waktu tertentu.
Makin banyak stimulus terkondisi diberikan bersama-sama stimulus tak terkondisi
yang terbentuk, sampai pada suatu ketika respon terkondisi akan muncul walaupun
tanpa ada stimulus tak terkondisi. Teori Classical
Conditioning dikenal juga perampatan stimulus yaitu kecenderungan untuk
memberikan respon terkondisi, meskipun stimulus tersebut belum pernah diberikan
bersama-sama dengan stimulus tak terkondisi. Makin banyak persamaan stimulus
baru dengan stimulus terkondisi yang pertama, makin besar pula perampatan yang
dapat terjadi. Stimulus yang tak terkondisi sebagai contohnya yaitu makanan
bagi anjing dapat mengeluarkan air liur. Dapat digambarkan sebagai berikut. Sedangkan
stimulus yang terkondisi dapat dicontohkan suara lonceng yang dapat
mengeluarkan air liur. Dapat digambarkan sebagai berikut.
4.
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Hull menyatakan bahwa interaksi antara
stimulus dan respon tidaklah sederhana sebagaimana adanya. Menurut Hull, ada
proses lain dalam diri seseorang yang mempengaruhi interaksi antara stimulus
dan respon sebagai variabel “intervening”
(yang berpengaruh). Hull percaya bahwa dalam asosiasi antara stimulus terhadap
respon, ada faktor kebiasaan sebagai “intervening variabel”. Intensitas
kebiasaan tersebut menentukan intensitas asosiasi yang terjadi. Proses belajar
menurut Hull merupakan upaya menumbuhkan kebiasaan melalui serangkaian
percobaan.
Untuk
dapat memperoleh kebiasaan diperlukan adanya penguatan dalam proses percobaan.
Namun Hull juga menyatakan bahwa penguatan bukan satu-satunya faktor yang
menentukan dalam pengemabangan kebiasaan lebih utama dipengaruhi oleh banyaknya
percobaan yang dilakukan. Disamping itu, proses belajar juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor lain yang berinteraksi langsung terhadap reaksi potensial yang
timbul. Pada akhirnya, Hull mengembangkan teorinya menjadi suatu teori yang
sangat kuantitatif. Hull mencoba mengukur intensitas respon dalam bentuk nilai
kuantitatif, dan mencoba menentukan nilai numerik yang tepat untuk membuat
persamaan tentang hubungan antara “ intervening
variabel” terhadap variabel bebas maupun variabel terikat. Dengan kata
lain, respon atau kebiasaan dapat diperidiksi secara kuantitatif dan tepat
melalui rumus-rumus tentang interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya.
5.
Teori Edwin Guthrie.
Edwin Guthrie juga menggunakan
variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses
belajar. Dijelaskan bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya
bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu
sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon
bersifat lebih tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya
lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan beberapa berbagai macam stimulus
yang berhubungan dengan respon itu. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting
dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Selain itu, Guthrie percaya bahwa
keterampilan mewakili sebuah kebiasaan, oleh karena itu belajar dapat dicapai
sebagai akumulasi dari pengulangan-pengulangan. Guthrie juga menyatakan bahwa
motivasi mempengaruhi belajar secara tidak langsung yang terlihat melalui
penyebab atau alasan individu melakukan sesuatu. Berdasarkan teori Contiguity dari Guthrie juga menyatakan
bahwa setiap individu mempunyai kapasitas yang berbeda. Dari hasil penelitiannya
terhadap sejumlah binatang, Guthrie menyatakan bahwa tidak semua binatang
mempunyai tingkat sensitivitas yang sama terhadap satu stimulus, dan tidak
semua binatang memiliki indra yang sama menerima informasi. Disampping itu,
menurut Guthrie latihan akan mengakomodasikan ataupun menghilangkan
respon-respon tertentu sehingga atas kombinasi stimulus yang muncul dapat
dihasilkan suatu respon yang menyeluruh sebagimana yang diharapkan atau disebut
dengan suatu kinerja yang berhasil.
6.
Teori Belajar Menurut Skinner
Menurut Skinner, hubungan antara
stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang
kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Dikatakannya bahwa respon yang
diberikan oleh seseorang/siswa tidaklah sesederhana itu. Sebab pada dasarnya
stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan saling berinteraksi dan
interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhi bentuk respon
yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon yang dimunculkan inipun akan
mempunyai konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada
gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh
sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih
dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami
respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan
timbul sebagai akibat dari respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa
dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan
tingkah laku hanya akan menambah tumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang
digunakan perlu penjelasan lagi, demikian dan seterusnya. Komponen proses
belajar menurut Skinner terdiri dari stimulus yang diskriminatif (discriminative stimulus) dan penguatan
yaitu penguat negatif (negative
reinforcement), penguat positif (positive
reinforcement) dan hukuman.
Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman
harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda dengan
respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus
dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu
dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan
kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu yang tidak
mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah
ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya
maka inilah yang disebut penguat negative. Lawan dari penguat negatif adalah
penguat positif (positive reinforcement).
Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat
positif itu ditambah, sedangkan penguat negatif adalah dikurangi agar
memperkuat respon. Dari percobaan Skinner yang dilakukan yaitu ia mempergunakan
hewan seperti anjing yang sedang mencari makanan didalam kotak yang dapat
digambarkan sebagai berikut.
Skinner
menekankan bahwa hukuman dapat menghasilkan tiga dampak yang tidak diharapkan
yaitu hukuman hanya bersifat sementara dalam menghilangkan dalam respon yang
tidak diinginkan. Hukuman dapat mengakibatkan timbulnya perasaan yang tidak
mengenakkan seperti malu, rasa bersalah dan lainnya, kemudian hukuman yang
dapat meningkatkan pemunculan perilaku yang dianggap mengurangi hadirnya
stimulus yang tidak menyenangkan (Misalnya, anak kecil berpura-pura sakit
karena tidak mau mengikuti test mendadak). Maka dari itu Skinner lebih
menganjurkan penggunaan penguatan dari pada hukuman jika ingin memperoleh
respon yang benar.
Teori
Skinner tidak hanya mencakup penjelasan terhadap proses belajar sederhana,
namun juga proses belajar kompleks, yang dikenal dengan “shaping” (pembentukan).
Proses “shaping” yang dilakukan
secara bertahap akan menghasilkan penguasaan terhadap perilaku yang kompleks
melalui perancangan stimulus yang diskriminatif dan penguatan. Menurut Skinner,
proses “shaping” dapat menghasilkan perilaku yang kompleks yang tidak memiliki
kemungkinan untuk diperoleh secara alamiah atau dengan sendirinya. “Shaping”
yang berkelanjutan yang dilakukan untuk memperoleh perilaku kompleks, disebut
senagai “program” oleh Skinner. Skinner juga mengemukakan bahwa manusia dapat diajar
untuk “berfikir” atau “menjadi kreatif” melalui metode pemecahan masalah yang
melibatkan proses identifikasi masalah secara tepat dan proses mengaktifkan
strategi untuk memanipulasi variabel dalam masalah tersebut sehingga diperoleh
pemecahan masalahnya. Teori Operant
Conditioning dari Skinner juga sangat percaya akan proses perempatan hasil
belajar. Dengan menggunakan istilah induksi Skinner menjelaskan bahwa
perempatan terjadi berlandaskan pada proses induksi terhadap stimulus yang
derajat kompleksitasnya dan karakteristiknya mempunyai kesamaan dengan stimulus
diskriminatif yang sudah dipelajari. Jadi Teori Operant Conditioning dari Skinner menyatakan bahwa kunci untuk
memahami perilaku individu terletak pada pemahaman kita terhadap stimulus satu
dengan stimulus lainnya, respon yang dimunculkan dan juga berbagai konsekuansi
yang diakibatkan oleh respon tersebut.
Dari pandangan para ahli tersebut
dapat disimpulkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat
dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain belajar merupakan bentuk
perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku
dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Jadi
seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukan perubahan
tingkah lakunya. Menurut teori ini yang terpenting adalah nasukan atau input
yang berupa stimulus dan keluaran atau output berupa respon. Stimulus yang
dimaksud yaitu apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar
perkalian, alat peraga, pedoman kerja atau cara-cara tertentu, untuk membantu
belajar siswa, sedangkan respon yaitu reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh
guru.
Menurut teori bhavioristik, apa yang
terjadi diantara stimulus dan respon
dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan diukur. Maka
dari itu, apa saja yang diberikan oleh guru (Stimulus) dan apa saja yang
dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang terpenting
untuk melihat tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Faktor lain yang
dianggap penting dalam aliran Behavioristik yaitu faktor penguatan, jadi apa
saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan maka
respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi responpun akan
tetap dikuatkan.
2.2 Penggunaan Teori Behavioristik
Penerapan Teori Behavioristik dalam
kegiatan pembelajaran menurut konsep stimulus (Pavlov, Thorndike, Watson,
Skinner, Guthrie, Hull) diterapakn dalam bentuk penjelasan tentang tujuan
pembelajaran, ruang lingkup, relevansi pembelajaran serta dalam bentuk penyajian
materi, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Proses pengkondisian
atau interaksi antara stimulus dan respon (Pavlov) diterapkan dalam bentuk
pemunculan stimulus yang bervariasi, baik stimulus tunggal, ganda maupun
kombinasi stimulus. Misalnya, penyajian materi melalui uraian (ceramah) dan
contoh, diskusi, penemuan kembali, kerja laboratorium, permainan dengan
menggunakan media tunggal maupun beragam media (papan tulis, OHT, video,
computer dan lain-lain). Selain itu, proses pengkondisian juga melibatkan
konsep penguatan (Thorndike) yang diterapkan dalam bentuk pujian atau hukuman
guru terhadap siswa serta penilaian guru terhadap hasil kerja siswa.
Kreativitas guru dalam manipulasi (Watson) proses pengkondisian ini membantu
siswa secara positif dalam proses pembelajaran.
Dalam proses pengkondisian, berlaku
tiga dalil tentang belajar, yaitu dalil sebab akibat, dalil latihan/pembiasaan
dan dalil kesiapan (Thorndike). Jika respon siswa terhadap stimulus yang
diberikan guru (contoh, materi, gambar dan lain-lain) menghasilkan rasa yang
menyenangkan (dipuji, diminta bantuan teman, nilai bagus, jawaban benar, dan
lainnya) bagi peserta didik akan cenderung mengulang untuk melakukan hal yang
sama. Begitu pula dengan sebaliknya, jika respon siswa terhadap stimulus yang
diberikan menghasilkan rasa tidak senang bagi siswa (nilai jelek, dimarahi,
ditertawakan, dan lain-lain) maka siswa cenderung untuk tidak mengulang
kelakuan yang sama. Di samping itu respon yang benar akan semakin banyak
dimunculkan jika siswa memperoleh latihan yang berulang-ulang. Dengan demikian
dalam setiap proses pembelajaran, latihan menjadi komponen utama yang harus
dirancang dan dilaksanakan. Penyajian materi saja (dengan contoh, gambar,
media, melalui beragam metode) sama sekali tidak menjamin pemunculan respon
yang diharapkan jika tidak ada komponen latihannya dalam suatu proses
pembelajaran. Dengan demikian, guru tidak diharapkan terlalu banyak menggunakan
waktu untuk berceramah menyajikan materi, namun lebih baik banyak menggunakan
waktunya untuk siswa berlatih.
Proses
pembelajaran akan dapat berjalan dan respon yang benar akan dapat diharapkan
kemunculannya jika terjadi dalam situasi belajar yang menyenangkan bagi siswa.
Situasi belajar yang menyenangkan dalam hal ini diterjemahkan dalam sebagai
situasi yang tidak menyakitkan siswa secara fisik maupun mental, dimana
perhatian siswa terfokus pada pembelajaran yang akan berlangsung dan situasi
ketika siswa merasa siap mengikuti pembelajaran. Sebaliknya proses pembelajaran
tidak akan dapat berjalan dan respon yang tidak benar dapat dimunculkan dalam
situasi belajar yang tidak menyenangkan siswa misalnya pada saat perhatian
siswa baru saja sakit atau dimarahi orang tuanya serta bisa saja siswa itu
tidak merasa siap untuk belajar.
Proses
pembelajaran juga akan berjalan dengan baik jika ada dorongan dioperasionalkan
dalam bentuk tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran, yang harus dapat
diukur sehingga perubahan perilaku siswa dapat jelas terlihat sebagai akibat
dari proses pembelajaran (Watson). Dalam perencanaan pembelajaran, guru
menuliskan tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran baik umum maupun
khusus. Agar dapat diukur dan bersifat operasional yang dapat diukur. Hal ini
merupakan bentuk penerapan konsep “observable
behavior” (Watson). Jadi respon yang diharapkan dimunculkan siswa sebagai
hasil belajar haruslah sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Tujuan
pembelajaran menurut teori Behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic” yang menuntun siswa untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari. Maka dengan memberikan stimulus yang berupa
pertanyaan baik lisan maupun tertulis, tes/kuis, latihan maupun tugas-tugas,
guru dapat memahami sejauh mana siswa dapat menyerap mata pelajaran yang telah
diajarkan oleh guru. Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara
terpisah, biasanya menggunakan paper
atau pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntun satu jawaban benar. Maksudnya, bila siswa menjawab “benar”
sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa
secara individual.
Penerapan
stimulus teori Behavioristik dalam proses pembelajaran yaitu setelah siswa
mengikuti suatu pembelajaran, siswa dapat menjelaskan dan menguraikan kembali
apa yang materi apa yang telah diberikan oleh guru. Dengan materi yang
dipilah-pilah (Skinner) ke dalam pokok bahasan, sub pokok bahasan, topik dan
lainnya maka akan lebih mudah guru menyampaikan materinya. Dalam tahap kegiatan
pembelajaran agar siswa lebih cepat untuk memudahkan pemahaman terhadap siswa
maka guru dapat mempergunakan contoh-contoh, gambar-gambar, dalam berbagai
media dan metode yang dipergunakan dalam menyampaikan materi konsep
“Diskriminatif stimulus” (Skinner). Selain itu teori Skinner juga menyatakan
bahwa dengan penguatan (Reinforcement) dapat
merubah kebiasaan-kebiasaan dari peserta didik. Misalnya anak didik yang bisa
mencapai prestasi yang maksimal maka dengan memberikan penguatan seperti berupa
acungan jempol maka anak itu akan tambah bersemangat dalam belajarnya.
Karakteristik atau perilaku peserta didik akan terpengaruh oleh
kebiasaan-kebiasaan “Intervening variabel”
(Hull). Misalnya seorang peserta didik yang satu dengan yang lainnya akan
berbeda karakteristiknya akan terpengaruh oleh kebiasaan-kebiasaan dari
lingkungan sekitarnya. Jadi disini guru dengan memahami karakteristik peserta
didiknya maka ia akan lebih mudah menerima materi yang diberikan dari guru.
Contohnya anak didik yang suka dalam belajarnya berkelompok jadi guru disini dapat
mempergunakan metode dengan cara berdiskusi. Dalam pernyataan (Guthrie) bahwa
hukuman “punishment” yang sangat
mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan atau perilaku peserta didik, disini guru
memberikan hukuman yang bersifat positif dan tidak menimbulkan kekerasan/hukuman
fisik bagi anak didik, misalnya memberikan tugas tambahan, menyuruh siswa
membuat laporan sesuai dengan materi yang diajarkan dan masih banyak yang
lainnya.
Siciati
dan Prasetya Irwan (dalam Budiningsih: 2004) menyatakan bahwa, langkah-langkah yang
digunakan dalam merancang pembelajaran yaitu sebagai berikut.
Langkah-langkah
yang digunakan dalam merancang pembelajaran yaitu:
1) Menentukan tujuan-tujuan
pembelajaran, 2) Menganalisis pengetahuan awal (entry behavior) siswa, 3) Menentukan materi pelajaran, 4) Memecah
materi pelajaran menjadi bagian kecil-kecil, meliputi pokok bahsan, sub pokok
bahasan, topic, dsb, 5) Menyajikan materi pelajaran, 6) Memberikan stimulus,
dapat berupa pertanyaan baik lisan maupun
tertulis, tes/kuis, latihan atau tugas-tugas, 7) Mengamati dan mengkaji
respons yang diberikan siswa, 8) Memberikan penguatan/reinforcement (mungkin
penguatan positif ataupun hukuman, 9) Memberikan stimulus baru, 10) Mengamati
dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
2.3 Manfaat Teori Behavioristik.
Manfaat yang dapat diperoleh melalui
penerapan teori Behavioristik dalam pembelajaran yang berlandaskan pada
stimulus dan respon yaitu:
a. Peserta didik dapat
belajar berdasarkan stimulus yang diberikan dan guru atau pendidik dapat
menentukan langkah yang tepat berdasarkan respon yang ditunjukkan oleh siswa
maupun sebaliknya.
b. Guru memberikan
penguatan (Reinforcement) terhadap
anak didik maka ia akan bisa termotivasi untuk mengikuti pembelajaran yang
sedang berlangsung sehingga akan bisa mempengaruhi hasil belajar dari peserta
didik.
c. Dengan memberikan
stimulus dan respon jadi guru dapat mengetahui sejauh mana siswa tersebut
memahami dan menyerap materi yang
disampaikan oleh guru.
d. Stimulus yang
diberikan kepada peserta didik berupa pertanyaan-pertanyaan baik lisan maupun
tertulis baik melalui tes/kuis, latihan maupun tugas-tugas dengan respon dari
peserta didik, ia akan tertantang dalam mengikuti pembelajaran.
e. Pemberian penguatan
akan berpengaruh terhadap keberhasilan
yang telah dialami peserta didik, anak didik akan lebih bersemangat mengikuti
pelajaran, misalnya peserta didik yang mengalami suatu keberhasilan dalam
belajarnya maka ia perlu diberikan reward
atau penghargaan.
f. Siswa akan bisa
memperoleh prestasi yang maksimal dengan diberikannya stimulus-stimulus, berupa
hukuman, penguatan, penghargaan/reward.
g. guru dapat memahami
karakteristik peserta didik dan dapat memecahkan masalah yang dihadapi dalam
pembelajaran. Sehingga guru dapat mencari pemecahan masalah yang tepat dalam
meningkatkan kualitas peserta didik.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiningsih,
Asri. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
N.K.
Roestiyah. 1986. Didaktik Metodik.
Jakarta: Bina Aksara.
Sudjana.
2005. Strategi Pembelajaran. Bandung:
Falah Production
Suryabrata,
Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Susilo,
Rakhmat. 2011. Pendidikan Kesehatan dalam
Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Winataputra, Udin S. dkk. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
0 komentar:
Posting Komentar